Foto, tradisi Krayahan Bubur Sura, sebuah prosesi sakral yang digelar setiap bulan Muharam atau yang dikenal dalam budaya Jawa sebagai bulan Sura di Desa Jambu timur, kecamatan Mlonggo, Jepara. |
Queensha.id - Jepara,
Ratusan warga RW 05 Desa Jambu Timur, Kecamatan Mlonggo, Kabupaten Jepara, tumpah ruah di pelataran Masjid Darussa'adah pada Minggu (20/07/2025) pagi. Mereka mengikuti rangkaian tradisi Krayahan Bubur Sura, sebuah prosesi sakral yang digelar setiap bulan Muharam atau yang dikenal dalam budaya Jawa sebagai bulan Sura.
Tradisi ini menjadi penanda kuatnya semangat warga dalam melestarikan piweling leluhur sekaligus menjalin harmoni antara ajaran Islam dan budaya lokal. Tidak sekadar seremonial, kegiatan ini juga dimaknai sebagai sarana penggalangan dana pembangunan masjid, serta bentuk syukur atas keselamatan dan berkah hidup.
Bubur Sura: Dari Gunungan ke Genggaman Rakyat
Prosesi dimulai dari pelataran Masjid Darussaadah, di mana ratusan bubur sura dalam takir daun pisang disiapkan dengan isi bubur putih gurih, irisan telur dadar, suwiran ayam, dan taburan kacang.
Gunungan-gunungan berisi bubur sura, hasil bumi, jajanan pasar, dan tumpeng Sangga Buwana diarak keliling kampung menuju panggung kehormatan. Gunungan tertinggi ditopang oleh empat pemuda dan diawali oleh barisan pembawa bendera merah putih, tunggul adat, serta para sesepuh.
Alunan tembang Kebo Giro mengiringi perjalanan arak-arakan, diselingi dengan pencandraan dan suluk dari para pranata cara. Aura sakral semakin terasa ketika doa dalam bahasa Arab dilantunkan bersama suluk spiritual sebagai bentuk permohonan berkah kepada Tuhan.
Krayahan: Simbol Harapan dan Persatuan
Usai pembacaan doa, masyarakat langsung mengitari ancak bubur sura untuk mengikuti puncak acara: krayahan atau berebut bubur sura. Warga dari anak-anak hingga lansia tampak antusias mengambil bubur yang diyakini membawa keberkahan, meneladani kisah Nabi Nuh yang selamat dari banjir besar.
Bagi warga, bubur ini bukan sekadar makanan yang melainkan simbol harapan, keselamatan, dan kebersamaan. Bahkan, tradisi ini juga dijadikan momentum mempererat solidaritas sosial dan semangat gotong royong antarwarga.
“Acara ini adalah bentuk akulturasi budaya Islam dengan tradisi lokal. Bulan Sura bukan hanya milik umat Islam, tapi juga dirayakan oleh penganut kejawen dan lintas keyakinan. Ini bukti bahwa budaya bisa menyatukan kita,” ungkap Muhammad Roisul Hakim (35), inisiator acara sekaligus panitia kegiatan Piweling Asyura.
Tradisi Lintas Generasi, Lintas Agama
Hakim menegaskan bahwa hampir setiap rumah di Desa Jambu Timur menggelar kenduri bulan Sura, sebagai bentuk selamatan dan penghormatan terhadap nilai-nilai warisan leluhur. Tradisi ini telah hidup turun-temurun dan dirawat oleh berbagai lapisan masyarakat, tanpa sekat agama maupun status sosial.
“Bubur sura ini bukan hanya simbol keislaman, tapi juga bentuk penghormatan terhadap nilai spiritual dan budaya yang diwariskan para leluhur. Lewat acara ini, kita ingin mengajarkan bahwa toleransi dan keberkahan bisa berjalan beriringan,” tambahnya.
Tradisi Krayahan Bubur Sura menjadi satu dari sedikit warisan budaya yang masih hidup dan mengakar kuat di tengah masyarakat pesisir Jepara. Di tengah gempuran modernisasi dan globalisasi, tradisi ini justru tampil sebagai oase pelestarian nilai dan kearifan lokal.
Kebersamaan, Doa, dan Warisan Budaya
Dari bubur yang direbut hingga nilai yang diwariskan, Piweling Asyura di Desa Jambu Timur adalah peringatan hidup akan pentingnya menjaga akar budaya di tengah derasnya arus zaman. Di antara kepulan bubur hangat, masyarakat menemukan doa, harapan, dan persatuan sehingga semuanya dalam satu takir yang membawa berkah.
***
Sumber: AJu.
Jepara, 20 Juli 2025
Reporter: Queensha Jepara.
0 Komentar