Foto, konferensi pers Polda Metro Jaya. |
Queensha.id - Jakarta,
Dua peristiwa kriminal yang terjadi hampir bersamaan mengungkap potret nyata kejahatan modern dan konvensional yang menyasar masyarakat luas, dari jantung ibu kota hingga pelosok desa. Polda Metro Jaya mengungkap jaringan phishing internasional asal Malaysia, sementara di Sleman, Yogyakarta, keluarga petani menjadi korban mafia tanah.
Phishing Internasional: Jeratan SMS Palsu di Tengah Kota
Polda Metro Jaya berhasil mengamankan dua warga negara asing (WNA) asal Malaysia, OKH (53) dan CY (29), atas dugaan keterlibatan dalam kejahatan siber melalui modus phishing berkedok SMS bank palsu. Keduanya ditangkap di kawasan strategis Bundaran HI, Menteng, Jakarta Pusat, tempat mereka beraksi dengan memanfaatkan keramaian untuk memperluas jangkauan sinyal alat penyebar SMS.
"Alat dijalankan di area seperti pusat perbelanjaan, pertokoan, dan kawasan bisnis agar jangkauan sinyal lebih luas," ungkap AKBP Alvian Yunus, Wakil Direktur Reserse Siber Polda Metro Jaya.
Modus para pelaku cukup sederhana, namun mematikan: mereka mengirim SMS yang mencatut nama bank swasta, lengkap dengan tautan jebakan untuk mencuri data pribadi nasabah. Hasil penelusuran menunjukkan bahwa sekitar 15.000 orang telah menerima pesan mencurigakan tersebut.
Pihak kepolisian saat ini tengah bekerja sama dengan aparat hukum Malaysia melalui Divisi Hubinter Polri untuk memburu pelaku lain yang diduga masih berada di luar negeri.
Para pelaku dijerat dengan sejumlah pasal dalam Undang-Undang ITE terbaru, dengan ancaman pidana penjara hingga 12 tahun.
Tragedi di Sleman: Tukar Guling yang Berujung Laporan Pidana
Sementara itu, di Kelurahan Maguwoharjo, Sleman, DIY, keluarga almarhum Budi Harjo tengah berjuang menguak misteri kehilangan lahan sawah seluas 800 meter persegi. Kisah bermula pada 2014, saat seseorang berinisial YK menawarkan tukar guling atas lahan tersebut. Karena Budi Harjo dan istrinya, Sumirah, buta huruf, keduanya hanya diminta cap jempol pada sejumlah dokumen tanpa penjelasan apapun.
Kuasa hukum keluarga, Chrisna Harimurti, menjelaskan bahwa dokumen tersebut ternyata adalah perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) yang mencantumkan nilai transaksi sebesar Rp2,3 miliar. Namun hingga kini, pihak keluarga menyatakan tidak pernah menerima uang sepeser pun.
“Sampai hari ini, keluarga tidak tahu kapan uang itu diberikan, di mana rekeningnya, atau bukti kuitansi apapun,” jelas Chrisna.
Ironisnya, saat anak Budi Harjo, Sri, mencoba mengurus duplikat sertifikat karena merasa kehilangan hak atas tanah tersebut, ia justru dilaporkan oleh pihak pembeli tanah (ST) atas dugaan pemalsuan dokumen. Hingga tahun 2022, Sri telah ditetapkan sebagai tersangka, meski kasusnya belum masuk tahap penuntutan di Kejaksaan.
Dalam keputusasaan, keluarga Sumirah bahkan menyurati Presiden Prabowo Subianto untuk memohon keadilan.
Refleksi: Warga Kecil di Tengah Pusaran Kejahatan
Dua kasus berbeda ini memperlihatkan bahwa baik teknologi canggih maupun celah hukum tanah dapat dimanfaatkan oleh pihak tak bertanggung jawab untuk menjerat korban, terutama mereka yang lemah secara sosial maupun ekonomi.
Di satu sisi, warga perkotaan harus waspada terhadap jebakan digital; di sisi lain, warga desa yang kurang literasi hukum dan administrasi menjadi sasaran empuk mafia tanah.
Pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat luas perlu meningkatkan kewaspadaan serta memperkuat pendampingan hukum terhadap warga kecil yang mudah menjadi korban.
***
Sumber: Tribunnews.
0 Komentar