Notification

×

Iklan

Iklan

Dugaan Bullying Santri 13 Tahun di Ponpes Bukhoriyyah Jepara, Mediasi Gagal, Keluarga Siap Tempuh Jalur Hukum

Minggu, 23 November 2025 | 09.42 WIB Last Updated 2025-11-23T05:36:55Z

Foto, ilustrasi anak-anak pondok pesantren.


Queensha.id – Jepara,


Kasus dugaan perundungan atau bullying kembali mencoreng dunia pendidikan pesantren di Jepara. Seorang santri berusia 13 tahun berinisial RAFD, siswa Wustho Kelas II Pondok Pesantren Bukhoriyyah Jepara, Raguklampitan, Desa Mindahan Kidul, kecamatan Batealit, kabupaten Jepara diduga menjadi korban pengeroyokan oleh beberapa teman sekelasnya. Insiden yang terjadi pada 12 November 2025 ini bukan hanya menyisakan luka fisik, tetapi juga trauma mendalam bagi korban hingga membuatnya kabur dari pondok.



Kronologi: Dikeroyok di Kelas, Pulang dengan Luka dan Ketakutan


Menurut keluarga, dugaan perundungan terjadi pada Rabu siang saat jam istirahat di ruang kelas Madrasah Wustho. RAFD diduga dikeroyok oleh 4–5 teman sekelasnya, mengakibatkan memar pada kepala, bibir, punggung, dan dada. Usai kejadian, korban menjalani visum di Puskesmas Pakisaji sebagai bukti medis.


Yang lebih mengkhawatirkan, korban disebut menerima ancaman agar tidak melapor kepada pengurus pondok maupun keluarga. Dalam kondisi takut dan tertekan, ia nekat kabur dari pondok pada Kamis dini hari (13/11/2025).


RAFD berjalan kaki dari Raguklampitan hingga tiba di rumahnya di Lebak sekitar pukul 08.30 WIB. Keluarga menyebut kondisi anak tersebut sangat terguncang dan sempat hanya diam sebelum akhirnya menceritakan insiden yang menimpanya.



Mediasi Berujung Ricuh, Orang Tua Pelaku Tantang Lapor Polisi


Merasa perlu mendapatkan kejelasan, orang tua korban mendatangi pihak pondok pada Kamis siang. Namun mereka mengaku hanya menerima janji bahwa pertemuan dengan orang tua para terduga pelaku akan difasilitasi.


Malam harinya, mediasi digelar. Alih-alih menemukan jalan tengah, pertemuan itu justru berakhir gagal. Keluarga korban menyebut salah satu orang tua terduga pelaku dari Mindahan menantang mereka untuk melaporkan kasus ini ke polisi. Kejadian ini disampaikan keluarga kepada awak media pada 19 November 2025.



Keluarga Kritik Lemahnya Pengawasan Pondok


Keluarga menilai kasus ini mencerminkan lemahnya pengawasan perilaku santri di lingkungan pondok pesantren. Mereka menyoroti adanya budaya perundungan yang disebut dibiarkan berjalan tanpa penanganan serius.


“Yayasan tidak pantas mendapat akreditasi jika membiarkan budaya bullying dan lemahnya pengawasan terhadap perilaku menyimpang berupa kekerasan di lingkungan pondok,” tegas pihak keluarga.


Sorotan ini menambah tekanan publik agar lembaga pesantren memperketat pengawasan dan memastikan lingkungan belajar yang aman.



Respons Ketus Ketua Yayasan: ‘Njih mas, ada yang bisa saya bantu?’


Saat dikonfirmasi pada 20 November 2025, Ketua Yayasan Ponpes Bukhoiriyyah, Gus Dimas, memberikan jawaban singkat tanpa penjelasan rinci:


“Njih mas, ada yang bisa saya bantu?”


Hingga kini, yayasan belum memberikan klarifikasi terkait dugaan perundungan maupun langkah penanganan internal yang diambil.



Keluarga Pertimbangkan Jalur Hukum


Melihat kondisi trauma anak, adanya luka fisik, serta gagalnya mediasi, keluarga kini tengah mempertimbangkan langkah hukum dengan melaporkan kasus ini ke kepolisian.


Kasus RAFD menambah daftar panjang dugaan kekerasan di lingkungan pesantren yang selama ini kerap sulit diungkap karena dianggap tabu atau ditutup oleh internal lembaga. Publik berharap kasus ini dapat membuka jalan bagi tata kelola pesantren yang lebih akuntabel dan memastikan keamanan santri sebagai prioritas utama.


***

Sumber: Welly.