Queensha.id - Kisah Inspiratif,
Udara pagi di Desa Kemadu, Kudus lereng Gunung Muria, masih berbalut embun tipis ketika Nafisa Zahra menuntun sepedanya menyusuri jalan tanah merah yang membelah petak-petak sawah. Gamis abu-abunya menyapu lutut, jilbab sederhana menutupi rambutnya yang terikat rapi. Di balik wajah teduh itu, terpancar keteguhan yang tak biasa bagi gadis seusianya.
"Assalamualaikum, Mbah Ranti," sapa Nafisa lembut saat melewati rumah panggung kecil di tepi kebun singkong. Seorang nenek tua yang sedang menyapu halaman tersenyum, membalas salam dengan gembira.
“Wa’alaikumussalam, Nduk Nafisa. Sudah dari subuh ya ke sawah?”
“Iya, Mbak. Nemenin Bapak nyiram ladang. Sekalian antar sarapan."
Di kampung itu, semua orang mengenal Nafisa bukan hanya karena kecantikannya yang alami—kulitnya bersih, matanya jernih, senyumnya menyejukkan—tapi karena akhlaknya yang istimewa. Ia selalu datang ketika orang tua membutuhkan, selalu membantu tanpa diminta, dan tak pernah terdengar satu pun kata kasar keluar dari mulutnya.
Nafisa mengayuh kembali sepedanya ke pondok kecil di tengah ladang, tempat ayahnya, Pak Usman, berteduh setelah menyirami tanaman cabai dan tomat. Di sana, Nafisa menyuguhkan sarapan sederhana: nasi jagung, sayur lompong, dan tempe goreng.
“Bapak makan dulu. Nafisa juga bawa wedang jahe,” katanya sambil menuang minuman hangat ke cangkir kaleng tua.
Pak Usman tersenyum lelah, menatap anak perempuannya dengan mata berkaca. Sejak kecil, Nafisa sudah terbiasa membantu, bahkan sejak ibunya mulai sakit-sakitan beberapa tahun lalu.
“Nak,” ujar Pak Usman pelan, “kalau suatu hari ada yang lamar kamu, tapi Bapak belum bisa kasih apa-apa... kamu kecewa, nggak?”
Nafisa hanya tertunduk, menyuapkan nasi perlahan. “Nafisa nggak butuh apa-apa, Pak. Cukup restu Bapak, dan orang itu harus mau salat jamaah sama Bapak di masjid.”
Pak Usman terkekeh lirih. “Kamu ini... anak gadis tapi mikirnya akhirat.”
Namun ketenangan pagi itu tak bertahan lama. Saat Nafisa pulang ke rumah, ia melihat sepeda motor besar berhenti di depan pagar bambu rumahnya. Seorang pemuda turun dengan pakaian rapi dan sepatu mengilap.
Itu Raka, anak Lurah Darmo. Sejak pulang dari kota, Raka kerap datang ke rumah Nafisa, membawa buah tangan, sesekali dengan alasan menanyakan kabar ibunya yang suka membeli jamu dari Ibu Nafisa.
“Pagi, Nafisa,” ucapnya sambil tersenyum percaya diri. “Boleh ngobrol sebentar?”
Nafisa tertegun. Ada sesuatu di sorot mata Raka hari ini yang membuatnya tidak nyaman. Tapi ia tetap menjawab sopan, “Silakan, Mas Raka. Tapi Bapak masih di sawah.”
“Memang aku mau bicara sama kamu langsung,” katanya. “Aku sudah bilang ke Bapakmu juga kemarin… aku serius sama kamu, Nafisa. Aku ingin kita bertunangan.”
Jantung Nafisa berdetak lebih cepat. Dunia seperti berhenti sejenak.
Raka melanjutkan, “Aku tahu Bapakmu sedang butuh biaya buat berobat ke Semarang. Kalau kamu setuju... aku bisa bantu semua itu.”
Nafisa terdiam. Matanya menatap tanah, lalu menatap lelaki itu yang berdiri membawa janji—dan syarat yang menggantung di baliknya.
“Maaf, Mas,” ujarnya akhirnya, pelan tapi tegas. “Bagi Nafisa, cinta itu bukan pertukaran. Dan kebaikan... tak seharusnya mengikatkan syarat.”
Malam itu, Nafisa menangis diam-diam di musala kecil belakang rumah. Di hadapannya, sajadah basah oleh air mata. Ia memohon petunjuk di bawah langit malam Muria.
Dan jauh di seberang pasar desa, di bawah lampu temaram warung buku bekas, seorang pemuda sedang menghitung uang receh yang terkumpul hari itu. Namanya Ilham—pemuda yatim yang diam-diam selalu mendoakan Nafisa dalam sujudnya.
Ia belum tahu, bahwa doanya malam itu... akan mengubah takdir mereka berdua.
Rasa yang Disimpan dalam Diam
Hari-hari setelah penolakan halus itu, Raka tak lagi sering muncul. Nafisa bisa kembali bernapas lega, meski ayahnya mulai batuk lebih parah dan jalan ke rumah sakit Semarang masih jadi mimpi panjang yang belum terwujud.
Namun di tengah kesulitan itu, datanglah kejutan yang membuat hati Nafisa menghangat.
Pagi itu, Ilham datang ke rumah dengan membawa sebuah amplop coklat dan kantong plastik berisi madu hutan, beras merah, dan beberapa botol jamu herbal.
“Ini titipan orang yang nggak mau disebut namanya, Bu,” ucap Ilham saat bertemu dengan ibu Nafisa. “Buat bantu berobat Pak Usman.”
Tapi tatapan mata Ilham saat melihat Nafisa—yang berdiri diam di pintu dapur—membuat segalanya menjadi jelas. Nafisa pun tahu, hanya satu orang yang bisa begitu tulus tanpa ingin disebut: Ilham.
Sejak hari itu, Ilham dan Nafisa jadi lebih sering bertemu. Kadang hanya bertukar senyum saat bertemu di masjid. Kadang berdiri lama di bawah pohon jambu, saling bercerita dalam batas yang terjaga.
Ilham tak pernah mengucapkan kata cinta. Tapi dalam setiap perhatian kecilnya, dalam setiap doa yang ia bisikkan di ujung malam, tersimpan harapan yang besar: semoga suatu hari, Allah mempertemukan mereka dalam ikatan suci.
Dan Nafisa? Diam-diam ia juga mulai menunggu. Hatinya yang sejak lama hanya dipenuhi rasa syukur, kini mulai tumbuh dengan rasa lain. Bukan cinta yang membara, tapi kasih yang tumbuh perlahan—halus, suci, dan penuh keikhlasan.
Namun suatu siang, langit mendung bukan hanya membawa hujan, tapi juga kabar yang menggetarkan hati.
“Ilham pamit, Nak,” kata Ibu Nafisa sambil menyodorkan sepucuk surat. “Katanya mau merantau ke Kalimantan. Katanya... dia nggak akan pulang sampai bisa menghalalkan kamu dengan tangannya sendiri.”
Surat itu dibaca Nafisa dengan mata berkaca. Tulisan tangan Ilham sederhana, tapi kalimatnya menggetarkan:
"Nafisa, maaf kalau aku pernah hadir terlalu dekat. Aku pergi bukan karena tak ingin bersamamu, tapi karena ingin pantas. Aku tak akan datang sebagai tamu yang ragu, tapi sebagai imam yang siap. Jika Allah merestui, waktu akan mempertemukan kita kembali. Bersabarlah, jika kamu masih ingin menunggu. Tapi jika tidak, aku akan tetap mendoakanmu bahagia, sampai akhir hayatku.”
Nafisa menahan tangis. Ia tahu, cinta bukan tentang memiliki sekarang. Tapi tentang keikhlasan menunggu waktu yang benar. Ia tidak tahu berapa lama Ilham akan pergi. Setahun? Dua tahun? Atau tak pernah kembali?
Tapi di atas sajadah malam itu, Nafisa mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Hatinya berbisik,
"Ya Allah, jika dia yang terbaik, jagalah ia untukku... Dan jika bukan, jagalah aku dari rasa yang tak Kau ridai."
Dan langit Muria kembali tenang, seakan ikut menyimpan rahasia cinta yang suci di antara dua hati yang sedang bersabar.
***
0 Komentar