Queensha.id - Kisah Inspiratif,
Surabaya, pukul 07.30 pagi. Langit baru saja membersihkan sisa-sisa gerimis malam. Di gang sempit yang hanya muat satu mobil itu, langkah Nayla Singgahi selalu menjadi pusat perhatian. Bukan karena dia sombong, bukan pula karena suka pamer. Tapi karena wajahnya—terlalu cantik, terlalu memesona untuk seorang gadis biasa berusia 22 tahun yang hanya bekerja di toko kue pinggir jalan.
Setiap ia lewat, para lelaki tua meneguk ludah, ibu-ibu menggunjing di balik pintu, dan para gadis seusianya menatap sinis penuh iri. Bukan sekali dua kali nama Nayla dibicarakan di grup WhatsApp ibu-ibu RT, bahkan pernah hampir jadi bahan rapat warga. Alasannya sederhana: karena kecantikannya bikin resah.
“Gara-gara Nayla, suamiku makin rajin beli roti di tokonya,” keluh Bu Mira, istri Ketua RT.
Tapi semua berubah semakin panas saat dua pria yang sangat berbeda latar belakang, sama-sama jatuh cinta pada Nayla.
Rangga, anak pengusaha toko bangunan, kaya, playboy, dan penuh gaya.
Rafi, guru ngaji di langgar kecil dekat masjid, sederhana, tenang, tapi memesona dengan akhlaknya.
Dua dunia yang bertabrakan. Satu karena nafsu, satu karena niat tulus. Dan Nayla terjebak di antara keduanya, sementara warga sekitar mulai membicarakannya seolah ia biang masalah di kampung itu.
Padahal Nayla hanya ingin hidup tenang…
Dua Pria, Satu Tatapan
Pagi itu, Nayla menata loyang kue bolu ke dalam etalase. Bau mentega dan vanila memenuhi udara, menyatu dengan aroma khas gang kecil tempat tokonya berdiri. Ia tak sadar, dua pasang mata sedang memperhatikannya dari sudut berbeda.
Di seberang jalan, Rangga bersandar pada motor sport-nya, mengenakan jaket kulit dengan kaca mata hitam yang hanya setengah menutup wajahnya. Ia menggigit permen karet, matanya tak lepas dari lekuk tubuh Nayla. Baginya, Nayla bukan hanya cantik, tapi menantang. Seperti sesuatu yang belum pernah bisa ia miliki—dan itu membuatnya penasaran.
“Kalau bukan aku yang dapet, nggak akan kubiarkan ada yang lain,” bisiknya pelan.
Sementara itu, di balik pagar kecil langgar, Rafi baru saja selesai mengajar anak-anak ngaji. Ia melihat Nayla menunduk sopan ketika seorang ibu membeli kue. Wajah itu… teduh. Dan tak pernah sekali pun ia melihat Nayla melirik Rangga atau lelaki manapun dengan mata genit.
“Dia beda,” gumam Rafi lirih. “Tapi justru itu yang bikin dia makin dicerca…”
Hari itu, Rangga datang langsung ke toko. Ia meletakkan buket bunga di atas meja kue, senyum menggoda.
“Pagi, Nayla. Untuk kamu.”
Nayla tertegun. Mata-mata di sekitar gang mulai mengintip dari jendela.
Tak lama kemudian, Rafi datang. Ia tidak membawa bunga. Tapi ia membawa satu dus kecil berisi kurma dari masjid.
“Ini dari jamaah, Nayla. Untuk buka puasa besok. Semoga berkah.”
Kini dua pria berdiri di depan Nayla—dan warga sekitar sudah mulai membicarakan ini sebagai awal dari keributan besar.
Karena kecantikan Nayla bukan hanya menggoda, tapi mulai memecah ketenangan kampung kecil itu.
Tawaran dari Langit
Malam turun pelan di langit Surabaya, menyelimuti gang sempit dengan lampu jalan yang remang. Di dalam rumah sederhana dengan cat tembok yang mulai kusam, Pak Mahfud, ayah Nayla duduk dengan wajah bingung memandangi secarik surat resmi bersampul tebal.
"Beasiswa penuh selama tiga tahun ke Inggris. Untuk satu mahasiswa/i terpilih dari lingkungan warga RT 04 RW 05. Biaya ditanggung penuh oleh yayasan pendidikan milik keluarga Pak Albar."
Tangan Pak Mahfud gemetar saat membaca ulang. Ia tahu, ini bukan main-main. Nama keluarga Albar—keluarga Rangga, bukan nama kecil. Mereka punya pengaruh, dan tawaran ini tak datang tanpa maksud.
"Pak, maksudnya Nayla bisa sekolah di luar negeri?" tanya istrinya pelan.
Pak Mahfud mengangguk. "Tapi aku curiga. Ini pasti ada hubungannya sama Rangga…"
Keesokan harinya, kabar itu meledak di kampung seperti petasan di hari raya. Nayla Singgahi yang katanya sumber keresahan warga, sekarang dapat tawaran emas: bisa kuliah di Inggris selama tiga tahun.
Rangga mendadak murung. Ia tahu betul siapa di balik tawaran itu: ayahnya sendiri. Tapi bukan karena niat mulia, melainkan strategi. Kalau Nayla keluar dari kampung, maka gosip akan mereda, dan nama keluarganya tak lagi tercoreng.
Tapi Rangga punya rencana lain. Ia mendatangi Pak Mahfud secara langsung.
“Pak, saya serius sama Nayla. Tolong jangan biarkan dia pergi hanya karena alasan yang dibuat-buat.”
Pak Mahfud menatapnya tajam. “Kamu serius? Atau kamu cuma pengen Nayla nggak pergi karena ego kamu terganggu?”
Di sisi lain, Rafi lebih memilih diam. Ia tahu Nayla butuh masa depan yang lebih baik. Tapi di dadanya, ada sesak yang tak bisa ia ucapkan. Saat Nayla melangkah lebih jauh, mungkinkah ia ikut? Tidak. Dunia Rafi terlalu kecil untuk menjangkau London.
Malam itu, Nayla termenung di jendela kamarnya.
Di luar sana, dua lelaki yang dulu bersaing untuk hatinya kini sama-sama kecewa. Tapi tak satu pun dari mereka tahu, bahwa Nayla sendiri belum tentu mau pergi… karena ada alasan yang lebih dalam dari sekadar beasiswa.
Jalan yang Tak Pernah Kembali
Hari keberangkatan itu datang lebih cepat dari yang diperkirakan. Warga berkerumun di mulut gang, sebagian pura-pura acuh, sebagian lagi ikut menatap penuh rasa penasaran. Nayla Singgahi, gadis yang selama ini jadi buah bibir, akhirnya benar-benar meninggalkan kampung kecil itu.
Tanpa Rangga.
Tanpa Rafi.
Tanpa siapa-siapa.
Ia berdiri di samping koper besar berwarna biru laut. Pak Mahfud dan istrinya tampak menahan tangis, tak percaya anak satu-satunya akan pergi sejauh itu.
Rangga sempat datang pagi-pagi buta. Membawa cincin, niat lamaran, dan janji masa depan.
“Nay, kamu nggak harus pergi. Aku bisa bikin masa depan kita di sini,” katanya dengan nada putus asa.
Tapi Nayla hanya tersenyum. “Kamu nggak benar-benar cinta, Rangga. Kamu cuma pengen menang. Kamu terlalu sering jatuh cinta sama bayangan yang kamu buat sendiri.”
Rafi juga datang, terakhir, hanya membawa buku kecil berisi kumpulan doa.
“Nayla, semoga Allah menjaga kamu di sana. Aku tahu aku bukan siapa-siapa buat kamu. Tapi kamu akan selalu ada dalam doaku.”
Nayla menangis pelan. Tapi ia tak memeluk, tak menggenggam, hanya menatap mata Rafi yang teduh itu untuk terakhir kalinya.
“Aku menghargai semuanya, Rafi. Tapi… Surabaya bukan takdirku. Dan kalian, bukan jodohku.”
Tiga tahun kemudian, nama Nayla Singgahi dikenal sebagai lulusan terbaik dari universitas di luar negeri. Ia tak pernah kembali ke gang sempit yang dulu menelannya dengan gosip dan kecemburuan.
Di media sosialnya, hanya ada foto-foto gedung, buku, dan anak-anak kecil yang ia ajar. Tak ada Rangga. Tak ada Rafi. Tak ada kisah cinta dari Surabaya yang bertahan.
Karena terkadang, kecantikan bukan untuk diperebutkan. Tapi untuk menemukan tempat di mana ia bisa bebas bersinar… tanpa membuat resah siapa pun.
***
0 Komentar