Foto, ilus. Nabila, seorang guru honorer di sebuah sekolah dasar di Gresik. |
Queensha.id - Surabaya,
Seorang wanita duduk di tepi jendela kamarnya, menatap hujan yang turun tanpa henti. Usianya baru menginjak 28 tahun. Wajahnya masih cantik, namun sorot matanya menyimpan ribuan luka yang tak pernah terlihat oleh siapa pun. Namanya Nabila, seorang guru honorer di sebuah sekolah dasar di Gresik. Dia bukan tokoh utama dalam sinetron atau tokoh fiktif yang dramatis. Ia nyata. Kisahnya adalah cerminan dari ribuan perempuan di luar sana yang bertanya-tanya: Apakah cinta sejati itu benar-benar ada?
Cinta yang Diharapkan, Tapi Tidak Dihadiri
Selama lima tahun, Nabila menjalin hubungan dengan seorang pria bernama Dimas. Mahasiswa pascasarjana dari keluarga berada, Dimas hadir membawa harapan, janji, dan impian akan masa depan bersama. Dalam lima tahun itu, Nabila menanti lamaran yang tak kunjung datang. Hari-hari berlalu dengan pesan singkat seadanya, pertemuan sesekali, dan janji-janji yang terus digantung di udara.
“Aku percaya waktu itu, bahwa dia sedang mempersiapkan segalanya. Tapi ternyata aku hanya sedang diminta menunggu sambil disisihkan,” ucap Nabila saat diwawancarai tim Inspirasi Hati. Suaranya tenang, tapi setiap kalimat yang ia ucapkan menggambarkan kelelahan batin yang mendalam.
Kepalsuan yang Tersingkap
Pada awal 2025, Nabila mengetahui bahwa Dimas telah bertunangan dengan perempuan lain. Tanpa pemberitahuan. Tanpa penjelasan. Tanpa pamit. Ia hanya tahu dari unggahan foto-foto bahagia di media sosial. Dunia Nabila runtuh seketika.
“Yang paling menyakitkan bukan karena dia memilih orang lain. Tapi karena selama ini aku hanya dijadikan cadangan,” tuturnya lirih.
Kisah Nabila bukan satu-satunya. Data dari Konsorsium Psikologi Sosial Indonesia mencatat, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, 38% perempuan usia 25–35 tahun pernah mengalami relasi manipulatif yang membuat mereka bertahan pada hubungan yang tak sehat karena harapan semu. Banyak dari mereka berakhir dengan trauma kepercayaan, dan tak sedikit yang memilih menarik diri dari dunia sosial.
Apakah Cinta Sejati Itu Masih Ada?
Pertanyaan ini kini terus menghantui Nabila. “Apakah cinta sejati memang benar-benar ada, atau hanya dongeng yang diciptakan agar orang tetap punya harapan?”
Psikolog klinis, dr. Maya Gunawan, M.Psi, mengatakan bahwa cinta sejati tidak pernah datang dari keraguan dan ketidakpastian. “Cinta sejati bukan hanya soal rasa, tapi konsistensi. Komitmen. Perjuangan dua arah. Ketika hanya satu yang menunggu, sedangkan yang lain bebas menentukan arah, itu bukan cinta—itu pelarian.”
Ia juga menambahkan bahwa wanita seperti Nabila tidak seharusnya menyalahkan diri sendiri. “Sering kali korban dalam hubungan semu merasa gagal, padahal sesungguhnya mereka hanya salah mempercayakan hatinya kepada orang yang tidak bertanggung jawab.”
Menemukan Diri Kembali
Hari ini, Nabila tidak lagi menunggu Dimas. Ia mulai menyusun hidupnya kembali, perlahan tapi pasti. Ia aktif menulis, membagikan pengalamannya melalui blog pribadi yang banyak dibaca perempuan muda. Ia juga menjadi sukarelawan dalam komunitas pendamping perempuan yang pernah mengalami relasi tidak sehat.
“Kalau dulu aku menunggu orang yang salah, sekarang aku belajar untuk menunggu dengan cara yang benar: menunggu diriku sembuh, menunggu diriku bahagia dengan diriku sendiri. Kalau nanti ada cinta yang datang, aku akan tahu mana yang sejati, mana yang palsu,” katanya sambil tersenyum kecil.
Penutup: Cinta Bukan untuk Ditunggu, Tapi Ditemukan dengan Matang
Kisah Nabila bukan akhir dari cinta. Ia hanyalah babak dari perjalanan yang lebih panjang, babak tentang penyembuhan, ketegasan, dan keberanian untuk tidak menunggu cinta yang tak pernah datang. Dunia boleh penuh kepalsuan, tapi harapan akan cinta yang sejati tetap hidup dalam hati yang mau belajar.
Karena pada akhirnya, cinta sejati bukan datang dari orang yang kita tunggu, tapi dari seseorang yang tak perlu diminta untuk tetap tinggal.
***
Oleh: Redaksi Inspirasi Hati.
0 Komentar