Queensha.id - Solo,
Erina Haifanias, gadis 21 tahun asal Solo, dikenal bukan hanya karena paras cantiknya, tapi juga karena hobinya yang satu: selfie. Hampir setiap sudut desa tempat ia tinggal sekarang—Desa Wringinanyar—sudah pernah menjadi latar fotonya. Ia baru pindah ke desa itu enam bulan lalu, tinggal bersama bibinya yang sudah janda.
Dalam waktu singkat, Erina jadi perbincangan. Foto-foto selfienya yang ia unggah ke media sosial seringkali diambil di sawah, di depan warung kopi, bahkan di pelataran masjid. Gaya modernnya bertolak belakang dengan kesederhanaan warga sekitar, dan itulah yang membuat ia menarik.
Tak butuh lama, banyak pemuda desa jatuh hati. Ada Rio, anak kepala dusun. Ada Bima, si perajin mebel yang pendiam. Lalu Farel, cucu juragan ternak kambing yang flamboyan. Semuanya berlomba-lomba menarik perhatian Erina.
Namun puncaknya terjadi saat Rio dan Farel secara tak sengaja datang bersamaan ke rumah bibi Erina untuk mengantar kue buatan mereka. Saling sindir tak terelakkan, hingga akhirnya adu fisik pun pecah.
Desa yang sebelumnya damai, berubah jadi arena pertarungan gengsi dan rasa. Bahkan beberapa orang tua mulai berdebat, saling menyalahkan dan membawa-bawa masa lalu keluarga masing-masing.
Erina hanya bisa terdiam, tak menyangka selfie dan senyum manisnya memicu pertengkaran yang mulai mengakar…
Dendam, Cinta, dan Sebuah Foto yang Salah Unggah
Sejak insiden adu jotos di depan rumah bibinya, Erina memilih untuk tak keluar rumah selama dua hari. Bibi Rahayu menasihatinya agar hati-hati dalam bertindak, apalagi di desa kecil seperti Wringinanyar, di mana gosip bisa menyebar lebih cepat dari angin malam.
Namun pada hari ketiga, Erina kembali mengunggah sebuah foto selfie. Kali ini latarnya adalah sebuah kebun bambu di pinggir sungai, tempat yang cukup sepi. Yang membuat heboh adalah caption-nya:
"Kadang cinta itu seperti air sungai, tenang tapi menghanyutkan. Terima kasih, kamu yang datang diam-diam."
Warga desa langsung geger. Foto itu diunggah pukul 5 pagi, dan pada pukul 7, warung kopi Bu Samirah sudah penuh desas-desus. Semua orang bertanya-tanya: siapa “kamu” yang dimaksud Erina?
Rio merasa itu untuknya, karena malam sebelumnya dia diam-diam menyelipkan surat puisi di sela pintu rumah Erina. Tapi Farel juga yakin, karena ia baru saja memberanikan diri mengantar bunga tanpa nama ke halaman belakang rumah sang gadis.
Yang tak mereka tahu, foto itu sebenarnya untuk seseorang yang tak mereka duga—Bima, si pendiam yang jarang bicara, namun diam-diam pernah membantu Erina mengambilkan ponselnya yang jatuh di sungai sebulan lalu.
Erina tak bermaksud membuat masalah, tapi komentar-komentar di postingannya makin panas. Seorang akun anonim menuduhnya mempermainkan banyak laki-laki. Akun lain menyebarkan tangkapan layar obrolan antara Erina dan Rio, memelintirnya jadi bahan gosip murahan.
Desa makin memanas. Malam itu, seseorang menyiram cat di pagar rumah bibi Rahayu. Sebuah pesan tertulis:
"Jangan rusak anak-anak kami.”
Erina terdiam di balik jendela. Ia menggenggam ponselnya erat. Bukan ketakutan yang menguasainya, tapi kemarahan. Ia merasa difitnah. Ia merasa disudutkan.
Dan diam-diam, ia mulai menyiapkan balasan. Bukan dengan amarah, tapi dengan cara yang bisa mengguncang isi desa...
Rencana Erina dan Kebenaran yang Akan Dibuka
Rencana Erina dan Kebenaran yang Akan Dibuka
Malam itu, di balik kamar sempit beratap seng, Erina menatap layar ponselnya. Ia membuka folder khusus yang selama ini ia simpan rapi: tangkapan layar pesan-pesan para pemuda yang kini saling bertikai karena dirinya.
Bukan untuk membalas dengan cara kejam—tidak. Tapi ia sadar, jika ia terus diam, maka ia akan selamanya jadi bulan-bulanan. Erina mulai menulis sebuah postingan panjang, bukan sebagai pembelaan, tapi sebagai pembuka kebenaran.
Namun sebelum ia mengunggahnya, sebuah pesan masuk dari Bima.
“Jangan lawan mereka dengan api, Rin. Kau akan terbakar juga. Tapi kalau kau ingin semua tenang, aku tahu caranya.”
Erina terkejut. Ia tak menyangka Bima—yang selama ini hanya diam dan menyendiri—bisa menulis kata-kata sebijak itu. Mereka pun akhirnya bertemu diam-diam di gubuk bambu tepi sungai. Malam itu, bulan purnama menggantung di langit, cahayanya memantul di aliran air yang tenang.
Bima menunjukkan sesuatu: video rekaman dari kamera CCTV milik bengkel pamannya, yang kebetulan mengarah ke jalan rumah bibi Erina. Dalam video itu, terlihat jelas siapa yang menyiram cat ke pagar rumah Rahayu. Ternyata, itu adalah dua pemuda suruhan Farel—yang sengaja melakukannya demi menjatuhkan Rio, lalu menyebarkan fitnah ke warga.
Erina terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Aku bisa saja lapor ke Pak RT atau polisi,” ujar Bima, “Tapi lebih baik kamu yang menentukan. Ini hidupmu.”
Keesokan paginya, Erina membuat unggahan di media sosialnya. Bukan selfie. Tapi sebuah tulisan, disertai potongan video dari CCTV itu. Ia tidak menyebut nama, tidak menyalahkan siapa pun. Tapi ia menutup dengan satu kalimat:
“Jangan ajari aku diam, jika kebenaran bisa bicara.”
Unggahan itu viral di desa. Dalam waktu sehari, wajah para pemuda yang sebelumnya sombong mulai tertunduk. Orang tua mereka mulai merasa malu. Farel menghilang dari peredaran. Rio memilih datang langsung ke rumah Erina untuk meminta maaf—bukan untuk cinta, tapi untuk kejujuran.
Dan Erina? Ia tersenyum kecil, menyadari bahwa kadang, kekuatan seorang perempuan bukan di wajahnya, tapi di keberanian menegakkan harga dirinya.
Tapi cerita ini belum selesai. Karena dari balik bayang-bayang, seseorang yang lama mengamati Erina diam-diam mulai bergerak. Sosok dari masa lalunya di Solo. Sosok yang dulu ia tinggalkan demi mencari ketenangan.
Lelaki dari Masa Lalu dan Rahasia yang Tak Pernah Mati
Dua hari setelah unggahan viral Erina, suasana Desa Wringinanyar mulai tenang kembali. Tapi ketenangan itu seperti permukaan air yang menutupi pusaran dalam—karena di antara pesan-pesan dukungan yang masuk ke ponsel Erina, ada satu yang membuat jantungnya berhenti sejenak.
“Masih suka selfie, Rin? Atau sekarang sudah suka mengungkap rahasia? —Z.”
Erina gemetar. Ia langsung mengunci kamarnya dan menutup semua jendela. Nama itu… “Z”. Lelaki yang dulu ia kenal di Solo. Lelaki yang menjadi alasan ia kabur dari kota itu dan memilih tinggal bersama bibi.
Namanya Zafran. Usianya empat tahun lebih tua. Dulu mereka berpacaran secara diam-diam saat Erina masih SMA. Tapi hubungan itu penuh tekanan. Zafran posesif, kasar, dan terobsesi. Ia pernah memaksa Erina berhenti dari ekskul tari hanya karena tak suka ia dilihat banyak orang.
Puncaknya, Erina melaporkan Zafran ke polisi setelah insiden pemukulan ringan. Tapi karena tekanan dari keluarga dan rasa malu, kasus itu menghilang. Lalu Erina memilih pergi—dan menghilang dari semua akun media sosialnya.
Kini Zafran tahu di mana dia tinggal.
Sore itu, Erina pergi ke rumah Bima. Ia tak punya siapa-siapa lagi yang bisa dipercaya. Dengan suara bergetar, ia menceritakan semuanya. Bima hanya diam, tapi pandangan matanya penuh amarah.
“Kau punya hak untuk tenang, Rin. Kalau dia datang ke sini, aku tidak akan tinggal diam,” ucap Bima.
Namun Erina tahu, Zafran bukan orang yang datang langsung. Ia suka main di balik layar. Dan dugaannya benar.
Malam harinya, akun fake baru muncul dan menyebarkan foto lama Erina bersama Zafran—foto yang jelas diambil tanpa izin, ketika mereka dulu di sebuah kafe. Caption-nya menyindir:
“Gadis manis dari Solo, jangan sok suci. Luka lama belum sembuh, sudah berani ceramah?”
Warga mulai berguncang lagi. Mereka yang sempat mendukung Erina, mulai bertanya-tanya. Bibi Rahayu mulai gelisah. Erina merasa hidupnya seperti dikejar bayang-bayang yang tak pernah mati.
Tapi kali ini, ia tidak akan kabur.
Erina menatap layar ponsel dan mengetik pesan untuk seseorang yang tak ia sangka akan ia hubungi lagi:
“Pak Damar, saya mau bicara soal laporan lama tentang Zafran. Masih ingat saya?”
Pak Damar, mantan penyidik di Solo yang dulu sempat membantu diam-diam, membalas singkat:
“Saya ingat. Kalau kau siap buka semuanya, aku juga siap.”
Perang belum selesai. Tapi Erina tahu, kali ini ia tak akan sendiri.
Dosa yang Tertimbun dan Api yang Akan Menyala Lagi
Dini hari, di beranda rumah bibi Rahayu, Erina duduk memeluk lutut. Ia menunggu pesan balasan dari Pak Damar yang telah berjanji akan membantunya membuka kembali kasus lama Zafran. Di dalam dadanya, ada gemetar, tapi juga tekad yang tak bisa dibendung.
Beberapa jam kemudian, sebuah mobil hitam berhenti di depan gang kecil menuju rumah Erina. Dari dalamnya keluar seorang pria paruh baya, mengenakan jaket kulit dan membawa map. Ia adalah Pak Damar. Tak lama, mereka duduk bersama di dalam rumah bibi.
"Zafran sudah jadi buruan dalam beberapa kasus, Rin," kata Pak Damar serius. "Tapi yang membuat dia masih bebas adalah karena semua korbannya diam. Kau mau jadi awal dari perubahan?"
Erina mengangguk. Ia tahu risikonya. Tapi ia lebih takut jika hidupnya selamanya dikejar bayang-bayang trauma. Bersama Pak Damar, ia menandatangani laporan resmi, menyertakan bukti percakapan, foto luka lama, serta rekaman suara Zafran yang berhasil ia jebak lewat panggilan telepon beberapa hari lalu.
Tiga hari setelah laporan masuk, Zafran muncul di desa. Bukan sebagai penjahat, tapi pura-pura sebagai tamu. Ia menanyakan keberadaan Erina ke beberapa warga. Tapi sebelum niat buruknya terlaksana, Bima yang sudah mengawasi langsung menghadangnya di warung.
“Satu langkah ke arah Erina, kau lihat dunia dalam bentuk yang kau tak mau tahu,” ucap Bima, dingin.
Namun bahkan Bima tak perlu melakukan apa-apa. Polisi datang sore itu dan langsung membawa Zafran—berdasarkan laporan resmi dan bukti-bukti yang sudah cukup kuat.
Warga desa terkejut. Tapi perlahan, semuanya terungkap: siapa Zafran, apa yang pernah ia lakukan, dan bagaimana Erina selama ini hanya mencoba melindungi dirinya sendiri.
Beberapa orang yang dulu menghujat Erina mulai merasa malu. Bahkan Farel, yang sempat memfitnah dan menyewa orang untuk mengganggu Erina, akhirnya datang dengan wajah tertunduk, meminta maaf. Rio ikut datang, hanya untuk berkata, “Maaf, aku pernah menganggapmu main-main.”
Erina tak membalas dengan marah. Ia hanya berkata pelan, “Kadang kita butuh luka untuk tahu mana cinta, mana ego.”
Satu bulan kemudian, suasana desa kembali tenang. Erina tetap tinggal di rumah bibi Rahayu. Ia membuka kelas fotografi kecil untuk anak-anak desa. Tak lagi sibuk mengejar likes atau komentar, ia kini lebih menikmati setiap potret kehidupan nyata—yang tak perlu filter untuk jadi indah.
Dan Bima? Ia tetap jadi dirinya: pendiam, sederhana, tapi setia berada di samping Erina, tanpa perlu banyak kata.
Suatu sore, saat matahari jatuh pelan di balik bukit, Erina mengunggah satu foto baru. Bukan selfie. Tapi potret siluet dirinya bersama anak-anak desa sedang tertawa.
Caption-nya sederhana:
"Kadang yang paling indah bukan yang paling dilihat… tapi yang paling dimengerti.”
***
0 Komentar