Foto, di lapangan berumput hijau, tempat favorit Nur Aisyah (22), Safira Idawati (23), dan Nindya Wulan (22). |
Queensha.id - Magelang,
Magelang, sebuah kota kecil nan asri di kaki Gunung Sumbing, menjadi saksi bisu pecahnya sebuah persahabatan tiga perempuan muda hanya karena kehadiran satu sosok pria: Fahri Tulanggung, 26 tahun, montir mobil spesialis kendaraan Eropa yang sempat menetap di kota ini.
Kisah ini bermula di sebuah lapangan berumput hijau, tempat favorit Nur Aisyah (22), Safira Idawati (23), dan Nindya Wulan (22) untuk menghabiskan waktu. Tiga sahabat ini dikenal dekat sejak SMA. Mereka saling mengisi, berbagi canda dan tangis, dan tak jarang membuat orang iri dengan kehangatan pertemanan mereka.
"Lapangan itu seperti ruang rahasia kami," kata Nur Aisyah suatu sore. "Kami bisa tertawa keras, berbagi cerita cinta, bahkan kadang menangis diam-diam di situ."
Namun semua berubah ketika Fahri muncul.
Fahri bukan pria biasa. Dengan paras menawan dan ketekunan di dunia otomotif, ia dengan cepat mencuri perhatian warga sekitar. Berasal dari Jogja, ia menetap di Magelang untuk mengembangkan bengkel mobil khusus Eropa milik keluarganya. Karismanya mengundang kekaguman, bukan hanya dari pelanggan, tapi juga dari tiga sahabat yang tanpa disadari mulai menyimpan rasa.
"Awalnya aku tahu dia tertarik padaku. Dia sering datang ke warung tempat aku bantuin Ibu," ujar Nur Aisyah mengenang.
Ia menambahkan, "Tapi yang bikin rumit, dua sahabatku juga mulai sering cerita soal betapa mereka terpesona sama Fahri." Imbuhnya.
Perlahan tapi pasti, retakan mulai muncul. Canda menjadi sindiran. Tatapan hangat berubah menjadi curiga. Dari tawa, berubah jadi diam. Ketiganya terjebak dalam perang dingin yang tak kunjung selesai.
"Saya merasa kehilangan mereka," kata Safira.
"Persahabatan kami jadi rapuh. Satu cowok, tapi tiga hati luka." tambah Safira.
Pertengkaran demi pertengkaran terjadi. Grup percakapan mereka sepi. Lapangan tempat biasa duduk bersama kini hanya menyisakan rumput liar dan kenangan pahit. Persahabatan yang dibangun bertahun-tahun nyaris runtuh dalam hitungan bulan.
Yang ironis, tak satu pun dari mereka akhirnya bersama Fahri.
Pada akhir tahun itu, kabar datang: keluarga Fahri memutuskan pindah ke Jakarta. Bengkel di Magelang ditutup, dan tanpa banyak perpisahan, Fahri pun pergi.
Saat itulah, tiga hati yang remuk mulai saling menatap kembali.
"Butuh waktu hampir setahun untuk kami mengakui bahwa yang kami perebutkan bukan cinta sejati. Kami hanya saling takut kehilangan perhatian satu sama lain," ujar Nindya pelan.
Mereka kembali ke lapangan itu, bukan dengan tawa yang sama, tapi dengan tangisan dan pelukan panjang. Di sanalah luka dibuka dan dibiarkan sembuh bersama.
Kini, tiga sahabat itu kembali duduk bersama, menertawakan masa lalu.
"Fahri hanya lewat," ujar Nur Aisyah,
"tapi kami tetap di sini. Karena sahabat sejati, tak seharusnya hancur oleh cinta sesaat." imbuhnya.
Di tengah banyak kisah cinta yang datang dan pergi, persahabatan mereka adalah pelajaran yang tak ternilai. Tentang bagaimana cinta bisa buta, tapi juga bagaimana maaf bisa membukakan mata.
Dan lapangan berumput hijau itu, tetap ada. Menjadi saksi bisu dari retak, luka, dan akhirnya pemulihan.
Persahabatan yang Retak Kini Kembali Rapat dan Lebih Kuat dari Sebelumnya
Setahun setelah luka itu dibuka dan diobati dengan kejujuran serta air mata, Nur Aisyah, Safira, dan Nindya kembali seperti dulu. Bahkan lebih dari sekadar seperti dulu—mereka kini lebih kuat, lebih terbuka, dan lebih menghargai satu sama lain.
"Kalau dulu kami hanya sahabatan, sekarang kami seperti saudara yang terlahir dari badai yang sama," tutur Safira sambil tersenyum.
Mereka kembali memenuhi lapangan hijau itu. Duduk bertiga dengan rambut tergerai tertiup angin sore, membawa bekal kecil seperti masa SMA. Saling menyuapi keripik, bercerita soal pekerjaan, hingga membahas drama Korea terbaru.
Kebersamaan mereka kini bukan lagi ruang kompetisi, melainkan tempat aman untuk menjadi diri sendiri.
Dan dari salah satu momen yang paling ikonik dalam kebersamaan mereka, kalimat ini menjadi semacam slogan pribadi:
"Kita bertiga kompak ya ciwiciwi yang cantik, libur dulu terima cowok, hihihihi," ucap mereka bertiga serempak, diiringi tawa renyah yang lepas, jauh dari dendam dan luka lama.
"Untuk sekarang, cowok bisa tunggu. Kami masih ingin menikmati versi terbaik dari persahabatan ini," kata Nindya sambil menggenggam tangan dua sahabatnya.
Waktu memang tak bisa diputar, tapi kesalahan yang pernah terjadi bisa menjadi pelajaran yang berharga. Nur Aisyah, Safira, dan Nindya adalah bukti nyata bahwa luka bukanlah akhir dari segalanya. Asalkan ada keinginan untuk kembali, dan keberanian untuk jujur, persahabatan bisa tumbuh kembali—lebih kokoh dari sebelumnya.
Kini, mereka menyebut diri mereka “Ciwiciwi Magelang”, bukan hanya sebutan manja, tapi simbol dari kekompakan dan janji untuk tak lagi membiarkan cinta sesaat merusak sesuatu yang jauh lebih besar: ikatan hati yang tulus sebagai sahabat.
***
Oleh: VR.
0 Komentar