| Foto, Bupati Jepara Witiarso Utomo, ngantor di Desa Batealit, kecamatan Batealit, Jepara. |
Queensha.id - Jepara,
Dalam rangka menyerap aspirasi dan memperkuat kohesi sosial, Bupati Jepara H. Witiarso Utomo menjalankan program “Bupati Ngantor di Desa” yang dilakukan secara bergilir di 16 desa, termasuk Desa Batealit, Kecamatan Batealit, sejak 15 April hingga 29 Juli 2025.
Program ini bukan sekadar kehadiran simbolis, melainkan hadir sebagai wadah layanan publik meliputi kependudukan, kesehatan, hingga pembinaan mikro dan sarana dialog langsung antara pemerintah daerah dan warga desa. Di Batealit, laporan menyebut ada perhatian khusus pada “anak punk”, remaja dengan gaya punk yang selama ini sering dikaitkan stigma sosial.
Anak Punk: Dari “Rocker” ke Sekolah Rakyat Semi-Militer
Bupati Witiarso tak ingin anak punk diabaikan. Justru, mereka dirangkul melalui pendekatan terstruktur, yakni diarahkan masuk ke Sekolah Rakyat di Jepara dengan program pembinaan semi-militer. Tujuannya: membentuk disiplin, kepedulian kolektif, dan jenjang pendidikan formal untuk mereka yang sebelumnya mungkin terputus sekolah.
Tujuan Program dan Potensi yang Digali
Langkah ini sejalan dengan visi misi program “Ngantor di Desa”: menjaring aspirasi wargan dan mengembangkan potensi lokal secara inklusif . Dengan membina anak punk secara formal, pemerintah daerah berupaya mengubah stigma menjadi peluang—memutus rantai putus sekolah dan memperkuat karakter generasi muda.
Jadwal dan Epilog Program
Per Selasa tiap minggu, Bupati Wiwit dan jajaran menyambangi desa-desa prototipe seperti Batealit, Sumberrejo, Kaliaman, hingga Karimunjawa, dengan agenda lengkap: pelayanan publik, peninjauan infrastruktur, serta Focus Group Discussion (FGD) membahas potensi desa secara mendalam. Keberadaan program ini dirancang berkelanjutan dengan hasil penggalian tiap lokasi akan dievaluasi untuk langkah pembangunan berikutnya.
Analisis & Refleksi
Karakter dan inklusivitas: Pendekatan konkret terhadap anak jalanan/gaya punk memberi arti, mencerminkan respons sosial pemerintah desa-kabupaten yang progresif.
Mengubah paradigma stigma: Dari label negatif menjadi potensi pembangunan manusia, program ini bisa menjadi model replikasi desa lain.
Tantangan implementasi: Keberhasilan tergantung pada kelanjutan pendampingan dan kolaborasi antara sekolah, keluarga, serta lembaga desa.
Catatan perjalanan: Kelanjutan efektivitas perlu diikuti laporan rinci dan berapa anak punk yang berhasil reintegrasi, tingkat partisipasi sekolah, dan dinamika sosial di desa.
Program “Bupati Ngantor di Desa” di Batealit bukan hanya urusan pelayanan publik dan infrastruktur. Ia menjadi katalis perubahan sosial, terutama dengan melibatkan langsung anak punk dalam sekolah semi-militer. Ini bukan hanya langkah edukatif tetapi simbol kebangkitan kepercayaan diri dan harapan bagi generasi muda yang selama ini terpinggirkan.