Breaking News

Fantasi Sedarah dan Bayang-bayang Gelap Internet: Polisi Usut Jaringan Penyimpangan Seksual di Dunia Maya

Foto, logo media sosial Facebook.


Queensha.id - Jakarta,

Dunia maya kembali dihebohkan oleh terbongkarnya sebuah grup Facebook yang memuat konten menyimpang bertajuk “Fantasi Sedarah”. Grup ini diduga menjadi wadah diskusi dan penyebaran fantasi seksual bertema inses, termasuk terhadap anak di bawah umur. Tak hanya mencoreng etika dan moral publik, keberadaan grup ini juga membuka luka besar dalam upaya perlindungan anak di era digital.

Setelah viral di media sosial dan mendapatkan sorotan luas dari masyarakat, grup “Fantasi Sedarah” akhirnya ditutup oleh pihak Meta selaku pemilik platform Facebook. Namun, polemiknya belum berakhir. Aparat penegak hukum kini bergerak cepat mengusut siapa saja yang berada di balik grup yang meresahkan itu.

Dibuka untuk Umum, Sarat Eksploitasi Seksual Anak

Informasi awal menyebut bahwa grup “Fantasi Sedarah” sempat aktif dan bahkan terbuka untuk umum. Siapa pun dapat mengakses dan membaca isi diskusinya. Dalam grup itu, ditemukan konten berupa cerita, gambar, dan komentar yang diduga mengandung unsur eksploitasi seksual terhadap anak dan incest.

Direktur Siber Polda Metro Jaya, Kombes Roberto Pasaribu, mengungkapkan bahwa penyelidikan resmi telah dimulai sejak awal Mei 2025. Polisi kini bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) serta pihak Meta untuk melacak dan mengidentifikasi para admin serta anggota aktif grup tersebut.

“Kami mengusut siapa saja yang terlibat di dalamnya, terutama jika ditemukan indikasi tindak pidana seperti penyebaran konten eksploitasi seksual anak,” ujar Roberto saat ditemui di Mapolda Metro Jaya.

Kecaman Publik dan Desakan Penindakan Tegas

Reaksi keras datang dari berbagai pihak. Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Titi Eko Rahayu, menyatakan bahwa keberadaan grup seperti ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menjadi ancaman serius terhadap keselamatan anak-anak.

“Ini bukan sekadar penyimpangan, tapi bentuk kekerasan berbasis digital. Anak-anak harus dilindungi dari segala bentuk eksploitasi, baik secara fisik maupun virtual,” tegas Titi.

Sementara itu, dari sisi legislatif, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, menilai bahwa kasus ini harus dijadikan momentum untuk menegakkan hukum dengan lebih keras terhadap pelaku kejahatan seksual berbasis teknologi.

“Jangan beri ruang sedikit pun bagi predator seksual di internet. Kalau dibiarkan, ini bisa menjadi benih yang mengancam generasi masa depan,” ujar Sahroni.

Jejak Digital dan Tantangan Penegakan Hukum

Meski grup telah ditutup, jejak digital para pelaku masih bisa ditelusuri. Koordinasi antara kepolisian, Komdigi, dan platform media sosial menjadi krusial. Menurut pengamat media sosial, Enda Nasution, penutupan grup semata tidak cukup. Platform digital seperti Facebook harus lebih tanggap terhadap dinamika dan nilai-nilai budaya lokal.

“Selama ini sistem pelaporan konten menyimpang masih banyak kelemahan. Dibutuhkan kombinasi antara algoritma yang kuat dan respons manusia untuk menindak lebih cepat,” kata Enda.

Ia juga menyarankan agar edukasi digital bagi pengguna media sosial lebih diperluas, khususnya untuk mengenali dan melaporkan konten bermasalah.

Imbauan untuk Masyarakat

Polda Metro Jaya juga mengimbau masyarakat untuk tidak menyebarluaskan tangkapan layar atau konten apapun yang berasal dari grup tersebut. Penyebaran kembali konten eksploitasi seksual anak, meski dengan dalih edukasi atau pelaporan, tetap bisa berujung pada proses hukum karena melanggar UU Pornografi dan UU Perlindungan Anak.

Kombes Roberto Pasaribu menegaskan bahwa siapa pun yang turut menyebarkan ulang materi dari grup tersebut akan diperiksa jika ditemukan bukti pelanggaran hukum.

“Kita harus berhati-hati. Niat baik tidak akan menghapus dampak hukum bila dilakukan dengan cara yang salah,” ucapnya.

Refleksi di Tengah Keterbukaan Digital

Kasus “Fantasi Sedarah” kembali menjadi alarm keras bagi bangsa ini: bahwa keterbukaan digital juga membawa celah-celah gelap yang bisa mengancam nilai dan keselamatan publik, terutama anak-anak. Di tengah upaya membangun masyarakat digital yang sehat, kejadian ini menuntut sinergi lebih kuat antara negara, platform teknologi, dan masyarakat sipil.

Kita tidak hanya ditantang untuk menutup satu grup, tapi juga membangun benteng sosial yang kokoh dalam menghadapi penyimpangan di dunia maya.


Jika Anda mengetahui atau menjadi korban kejahatan seksual online, segera laporkan ke pihak berwenang atau hubungi layanan pengaduan resmi Kemen PPPA dan Kominfo.

***

Sumber: MM.

0 Komentar

© Copyright 2025 - Queensha Jepara
PT Okada Entertainment Indonesia