Queensha.id - Jepara,
Suasana pagi di sebuah simpang jalan di wilayah Kecamatan Tahunan, Jepara, mendadak mencekam. Seorang perempuan muda yang tengah mengendarai motor dihentikan secara paksa oleh dua pria bertubuh tegap. Sontak, pengguna jalan lain yang melihat pun merasa terganggu dan bingung. Perempuan itu tampak ketakutan. Setelah beberapa menit adu mulut, akhirnya motornya dirampas dan dibawa oleh kedua pria tersebut.
Peristiwa ini bukan adegan dalam sinetron kriminal. Ini nyata, dan ini sering terjadi. Para pelakunya? Mereka menyebut diri sebagai debt collector.
Debt Collector: Antara Kebutuhan dan Teror Jalanan
Debt collector, atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai penagih utang, pada dasarnya menjalankan fungsi legal: menagih cicilan yang macet. Banyak perusahaan leasing dan perbankan memanfaatkan jasa mereka untuk menangani kredit bermasalah. Namun dalam praktiknya, tak jarang aktivitas mereka melenceng dari koridor hukum dan etika.
Di Jepara, keluhan warga terhadap aksi debt collector yang menyergap di jalan semakin sering terdengar. Mereka bukan hanya menagih, tapi terkadang menggunakan intimidasi, kekerasan verbal, bahkan perampasan aset langsung di tempat umum.
“Nagih yo nagih, tapi ojo nyegat nak dalan koyo preman wae,” keluh Pak Sutarjo, warga Desa Ngabul.
“Lha wong sing dicegat ki bocah cilik karo wong wedok, langsung dijaluk motore. Wes ora koyo wong nagih, tapi koyo rampokan,” lanjutnya dengan nada geram.
Ada Aturan, Bukan Hukum Rimba
Setiap bentuk penagihan hutang sebenarnya telah diatur dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dalam Peraturan OJK No. 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan, disebutkan bahwa penagihan harus dilakukan dengan cara-cara yang beretika, manusiawi, dan tidak mengganggu ketertiban umum.
Penagihan yang dilakukan di jalan, apalagi dengan ancaman atau perampasan sepihak, adalah bentuk pelanggaran hukum. Apalagi jika yang dicegat adalah perempuan sendirian atau bahkan anak di bawah umur, yang secara psikologis lebih rentan terhadap tekanan.
“Semua ada prosedurnya,” tegas Kapolsek Jepara Kota, AKP Supriyono.
Ia menambahkan,“Jika memang ada kredit macet, maka harus ada surat peringatan, mediasi, hingga proses pengadilan bila perlu. Penyitaan barang harus melalui jalur hukum, bukan dirampas di jalan raya.” imbuhnya.
Himbauan untuk Masyarakat dan Pihak Terkait
Melihat situasi ini, perlu ada langkah tegas dan masif dari berbagai pihak, baik dari aparat penegak hukum, pemerintah daerah, maupun perusahaan pembiayaan.
Himbauan untuk Debt Collector dan Perusahaan Pembiayaan:
1. Ikuti prosedur hukum yang berlaku. Tidak ada pembenaran untuk menyita barang tanpa putusan pengadilan.
2. Beretika dalam menagih. Jangan menyergap di jalan, apalagi terhadap perempuan atau anak-anak.
3. Rekrut tenaga profesional. Pastikan penagih utang memahami hukum dan berperilaku sopan.
Himbauan untuk Masyarakat:
1. Waspada terhadap penagihan di luar prosedur. Jika ada tindakan yang mencurigakan, segera catat identitas penagih dan laporkan ke polisi.
2. Jangan panik saat dicegat. Tanyakan identitas dan surat tugas resmi. Jika tidak ada, tolak dengan sopan.
3. Rekam kejadian bila memungkinkan. Dokumentasi bisa menjadi bukti bila terjadi pelanggaran.
Himbauan untuk Aparat Penegak Hukum:
1. Tindak tegas aksi penagihan premanisme. Jangan biarkan hukum jalanan menggantikan hukum negara.
2. Buka pos pengaduan terbuka. Masyarakat butuh tempat untuk melapor tanpa rasa takut.
Warga Bukan Objek Kekerasan
Dalam iklim demokrasi dan negara hukum, tidak ada tempat untuk penagihan bergaya premanisme. Jalanan bukan tempat adu kuasa. Warga punya hak untuk diperlakukan dengan adil dan manusiawi.
Maka sekali lagi kami tegaskan:
"Nagih yo nagih, tapi ojo nyegat nak dalan koyo preman wae."
Mari kita jaga Jepara tetap damai, beradab, dan penuh penghormatan terhadap hukum.
"Jika Anda mengalami atau menyaksikan penagihan utang yang tidak manusiawi, segera hubungi kantor polisi terdekat atau laporkan melalui kanal resmi OJK. Jangan takut melawan ketidakadilan".
***
Sumber: Jepara update.
0 Komentar