Notification

×

Iklan

Iklan

Pasal 33 UUD 1945 Dikhianati, Rakyat Hanya Jadi Penonton

Jumat, 22 Agustus 2025 | 10.56 WIB Last Updated 2025-08-22T03:57:09Z

Foto, masyarakat Indonesia.

Queensha.id - Jakarta,


Indonesia dikenal sebagai negeri kaya sumber daya alam. Dari emas di NTB, nikel di Sulawesi, batu bara di Kalimantan, timah di Bangka Belitung, hingga migas di Natuna, perut bumi Nusantara seakan tak pernah habis memberi. Namun, di balik limpahan itu, banyak rakyat justru masih bergulat dengan kemiskinan, antre beras murah, hingga menjual tanah warisan demi biaya sekolah anak.


Pertanyaan besar pun mencuat: ke mana larinya hasil kekayaan alam itu? Apakah Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” yang kini hanya menjadi teks mati di dinding ruang rapat DPR dan kementerian?



Kaya Sumber Daya, Rakyat Tetap Miskin


Fakta di lapangan menunjukkan jurang antara potensi dan kesejahteraan rakyat. Contohnya, tambang emas di Sumbawa dan Dompu, NTB. Nilainya ditaksir mencapai Rp1.200 triliun, namun masyarakat sekitar tetap hidup sederhana, bahkan sulit mengakses air bersih.


Data Kementerian ESDM (Mei 2025) mempertegas ironi tersebut:


  1. Produksi nikel Indonesia mencapai 1,8 juta ton pada 2024—terbesar di dunia. Namun, tingkat kemiskinan Sulawesi Tenggara masih di atas 11%, lebih tinggi dari rata-rata nasional. 
  2. Cadangan emas Indonesia diperkirakan 2.600 ton, terbesar ke-7 dunia. Tetapi masyarakat lingkar tambang NTB rata-rata berpenghasilan di bawah Rp2 juta per bulan.
  3. PT Timah, BUMN yang menguasai 27% cadangan timah dunia, justru merugi Rp450 miliar pada 2023, sementara ekspor ilegal timah ditaksir mencapai Rp2,8 triliun per tahun.



Kebijakan yang Dipertanyakan


Sejumlah kebijakan pemerintah dinilai justru memuluskan jalan bagi konglomerasi dan investor asing. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, misalnya, lebih banyak mengutak-atik izin tambang untuk korporasi besar, sementara ribuan izin tambang rakyat terhambat di birokrasi.


Di sisi lain, Menteri BUMN Erick Thohir juga menuai kritik. BUMN tambang besar seperti Antam, Timah, Bukit Asam, dan Inalum justru mengalami penurunan kinerja. Laba Antam turun 19,45%, Bukit Asam anjlok 96%, sementara Inalum lebih sibuk menutup hutang daripada membangun kesejahteraan desa tambang.


Alih-alih menjadi “benteng” Pasal 33, BUMN tambang kini dianggap sekadar menjadi mesin bisnis yang jauh dari rakyat.



Amarah Rakyat Bisa Meledak


Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Suara-suara protes, seperti demo besar di Pati beberapa waktu lalu, dinilai sebagai alarm awal dari potensi gelombang lebih besar.


“Amarah rakyat itu seperti api dalam sekam. Jika suara rakyat terus diabaikan, Jakarta bisa meledak jadi Pati kedua,” ujar salah satu aktivis yang menyoroti persoalan tambang.



Harapan pada Presiden


Kritik dan desakan kini tertuju pada Presiden Prabowo Subianto. Publik menanti ketegasan dan keberpihakan nyata terhadap rakyat, termasuk langkah berani untuk mengevaluasi para menteri yang dianggap gagal mengelola kekayaan alam.


“Jangan biarkan rakyat hanya dapat debu tambang. Biarkan mereka merasakan sinarnya,” tegas seruan tersebut.


Jika kabinet tidak mampu menjaga amanat Pasal 33, suara publik jelas: lebih baik mundur dan digantikan oleh sosok-sosok yang siap bekerja sungguh-sungguh untuk bangsa dan negara.


***

Sumber: Purnomo pengamat sosial Jepara.

×
Berita Terbaru Update