Queensha.id – Jepara,
Perundungan atau bullying di lingkungan pendidikan masih menjadi persoalan serius yang kerap luput dari perhatian. Banyak yang menganggap ejekan sebagai hal biasa, padahal bagi anak yang menjadi korban, itu bisa meninggalkan luka mendalam dan luka yang tidak selalu tampak di permukaan.
Anak yang dulu ceria bisa berubah pendiam. Yang dulu percaya diri, kini takut bersuara. Yang semangat belajar, tiba-tiba enggan ke sekolah.
Kata-kata kasar memang bisa hilang di udara, tetapi bekasnya bisa tertinggal di pikiran dan perasaan selama bertahun-tahun.
Pandangan Pengamat: Bully adalah Kegagalan Pendidikan Karakter
Pengamat sosial dan pendidikan asal Jepara, Purnomo Wardoyo, menilai bahwa fenomena bullying merupakan bentuk kegagalan pendidikan karakter di sekolah dan rumah.
“Sekolah kita sering kali hanya fokus pada nilai akademik, tetapi melupakan pembentukan empati dan moral. Padahal, anak yang pintar belum tentu memiliki kepekaan sosial,” ujarnya kepada Queensha Jepara, Kamis (23/10/2025).
Menurut Purnomo, budaya mengejek yang dianggap lucu sebenarnya berpotensi membentuk siklus kekerasan psikologis. Anak yang terbiasa diejek bisa tumbuh dengan trauma, sementara anak yang terbiasa mengejek bisa kehilangan empati.
“Bullying itu tidak lahir dari kebencian, tapi dari kurangnya pengasuhan dan pendidikan empati. Di situ letak pentingnya pendidikan karakter,” tegasnya.
Sekolah dan Orang Tua Harus Bersinergi
Purnomo juga menekankan perlunya kolaborasi antara sekolah, guru, dan orang tua dalam mencegah perilaku bullying.
“Guru tidak boleh hanya jadi pengajar, tapi juga pengamat perilaku anak. Orang tua pun harus aktif mendengar cerita anak, bukan malah menyalahkan,” ujarnya.
Ia menambahkan, setiap kasus perundungan yang dibiarkan tanpa penanganan akan melahirkan generasi yang kehilangan rasa percaya diri.
“Anak korban bullying sering menyimpan luka batin. Mereka butuh ruang aman untuk bicara dan dukungan tanpa dihakimi,” tambahnya.
Gerakan #StopBullying Mulai Digencarkan
Beberapa sekolah di Jepara mulai menjalankan program pendidikan karakter bertema Stop Bullying, melalui kegiatan literasi, simulasi empati, dan pembentukan peer counselor (konselor sebaya).
Langkah ini diharapkan dapat menjadi gerakan bersama untuk menghapus budaya mengejek dan menggantinya dengan budaya saling menghargai.
“Ajarkan anak untuk menghargai, bukan merendahkan,” pesan Purnomo di akhir wawancara. Karena sesungguhnya, menghentikan bullying bukan hanya tugas sekolah, tapi tanggung jawab seluruh masyarakat.
***