Queensha.id - Jakarta,
Jika definisi kekayaan diukur dari saldo rekening dan deretan aset, maka Adit Prayoga jelas tak masuk daftar orang terkaya di negeri ini. Namun jika kekayaan dihitung dari seberapa besar ia memberi, maka pria sederhana lulusan SD ini layak dinobatkan sebagai salah satu orang paling kaya di Indonesia—karena hatinya.
Dulu, Adit hanyalah seorang yang terlupakan. Ia pernah hidup di bawah kolong jembatan, menjadi tukang parkir, dan menjalani hari-harinya dalam cengkeraman kemiskinan. Ia tahu rasanya lapar. Ia tahu pedihnya ditolak hanya karena tak punya uang. Dan dari luka itu, tumbuh sebuah tekad luar biasa: tidak ingin orang lain merasakan pahit yang pernah ia telan sendirian.
Hari ini, Adit adalah pendiri Rumah Makan Gratis (RMG) dan sebuah gerakan kebaikan yang membagikan makanan hangat kepada siapa pun yang membutuhkan. Tanpa bayar. Tanpa syarat. Tanpa stigma.
Dari satu warung kecil, kini sudah berdiri enam cabang RMG yang tersebar di:
1. Ciangsana (Bogor)
2. Cileungsi (Bogor)
3. Cibubur (Jakarta Timur)
4. Bekasi
5. Depok
6. Pasar Minggu (Jakarta Selatan)
Di setiap cabang, RMG menyediakan rata-rata 300 porsi makanan per hari. Totalnya? Lebih dari 1.000 porsi makanan setiap hari dibagikan lewat warung maupun mobil keliling yang menyambangi pemukiman padat, gang sempit, dan terminal-terminal kota.
Pengemudi ojek online, pedagang keliling, pemulung, sopir angkot, lansia sebatang kara, hingga pelajar berseragam putih-merah dan semuanya dipersilakan makan. Tak ada kasir. Tak ada nota. Yang ada hanya meja sederhana, senyum ramah, dan aroma masakan rumahan yang menggugah selera.
Menu yang disajikan pun bukan sekadar makanan ala kadarnya. Ada sayur asam segar, tempe goreng renyah, tongkol balado yang pedas menggoda, hingga sesekali hadir udang, kepiting, bahkan daging sapi. Bukan sisa. Bukan makanan basi. Tapi makanan dengan kualitas yang layak untuk siapa pun, karena menurut Adit, “mereka juga pantas mendapatkan yang terbaik.”
Ketika ditanya dari mana dana operasionalnya berasal, Adit hanya tersenyum. Sebagian dari kantong pribadinya yang tak seberapa, sebagian dari para donatur yang percaya, dan sebagian besar dari semangat gotong royong: warga yang menyumbang beras, lauk, tenaga, atau sekadar doa.
“Saya cuma lulusan SD. Tapi saya yakin, kebaikan itu tidak perlu ijazah tinggi. Cukup hati yang mau peduli,” ujarnya lirih, tapi tegas.
Adit Prayoga tidak memberi uang miliaran. Tapi ia memberi harapan. Ia memberi rasa kenyang. Ia memberi kembali kemanusiaan yang nyaris hilang dalam bising kota.
Di tengah zaman yang makin sibuk mengejar gengsi dan gelar, Adit hadir sebagai pengingat bahwa satu hati yang tulus bisa mengubah ribuan hidup. Ia bukan pengusaha. Bukan pejabat. Tapi kisahnya menampar kesadaran kita—bahwa menjadi berarti jauh lebih penting daripada sekadar menjadi berhasil.
Dan mungkin, di negeri yang kadang lupa arti kepedulian, Adit adalah orang terkaya yang sesungguhnya.
***
Sumber: KPS.