Queensha.com - Jakarta,
Di tengah gembar-gembor pertumbuhan ekonomi dan geliat pembangunan infrastruktur, sebuah laporan dari Bank Dunia justru membuka fakta mencengangkan. Dalam laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025, Indonesia menempati peringkat keempat dunia dalam hal persentase penduduk miskin, dengan angka mencapai 60,3 persen. Standar kemiskinan yang digunakan adalah penghasilan harian di bawah $6,85 atau sekitar Rp113 ribu—ambang batas global untuk negara berpendapatan menengah ke atas.
Laporan tersebut menempatkan Indonesia di bawah Afrika Selatan (63,4%), Namibia (62,5%), dan Botswana (61,9%). Sementara negara-negara seperti Guatemala, Armenia, dan Guinea Khatulistiwa berada di posisi lebih rendah dari Indonesia.
Fakta yang Mengguncang: 171,9 Juta Orang Miskin
Dengan populasi lebih dari 280 juta jiwa, angka 60,3% berarti sekitar 171,9 juta orang Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan versi global ini. Angka ini sontak memicu kegemparan di publik. Tak sedikit yang mempertanyakan validitas data pemerintah yang kerap menampilkan grafik kemiskinan yang “menurun” dalam laporan-laporan resmi.
Standar Ganda: BPS vs Bank Dunia
Perbedaan tajam antara standar Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS) menjadi sorotan utama. BPS mencatat garis kemiskinan nasional hanya sekitar Rp20 ribu per hari, jauh di bawah standar internasional. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah kemiskinan di Indonesia “dikecilkan” melalui definisi yang sempit?
Ekonom independen dan pengamat sosial menyebut ini sebagai bentuk "ilusi statistik". “Selama kita mengukur kemiskinan dari perspektif bertahan hidup minimum, bukan dari standar hidup layak, maka kita akan terus meninabobokan masyarakat dengan angka semu,” ujar Trias Mahendra, peneliti sosial dari Universitas Paramuda.
Politik dan Narasi Kemiskinan
Publik pun mulai bertanya: apakah kemiskinan ini semata-mata kegagalan ekonomi, ataukah ada agenda politik di baliknya? Beberapa pihak menuding bahwa kemiskinan sistemik justru menguntungkan elite tertentu yang menjadikan rakyat sebagai komoditas politik menjelang pemilu. Narasi bantuan sosial, bansos, dan subsidi digulirkan tanpa solusi struktural jangka panjang.
Di media sosial, tagar seperti #RakyatDimiskinkan dan #KemiskinanRekayasa ramai diperbincangkan. Sentimen ini mencerminkan kekecewaan terhadap ketimpangan yang kian lebar, di mana segelintir kelompok hidup dalam kemewahan sementara mayoritas rakyat berjibaku memenuhi kebutuhan dasar.
Mengapa Ini Penting?
Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan alam melimpah, mulai dari tambang, hutan, hingga hasil laut. Namun ironinya, kekayaan ini belum sepenuhnya diterjemahkan menjadi kesejahteraan yang merata. Data Bank Dunia ini menjadi semacam “alarm keras” bahwa pendekatan lama tak lagi relevan. Dibutuhkan keberanian politik dan keberpihakan nyata pada rakyat untuk membalikkan keadaan.
Di balik angka-angka statistik, ada jutaan cerita tentang anak yang putus sekolah, keluarga yang tak mampu membeli lauk, hingga petani yang terlilit utang. Laporan Bank Dunia seharusnya bukan hanya jadi catatan akademis, melainkan panggilan moral bagi seluruh pemangku kepentingan untuk tidak lagi menutup mata atas kenyataan di depan pintu rumah rakyat Indonesia.
***
Sumber: Macro Poverty Outlook, World Bank (April 2025).