| Foto, warga dari Dukuh Toplek dan Pendem bersama para aktivis lingkungan mendaki perbukitan, menengok sumber-sumber mata air yang selama ini menjadi denyut kehidupan mereka. |
Queensha.id - Jepara,
Di balik hijaunya Pegunungan Mrico yang membentang tenang di Desa Sumberrejo, kecamatan Donorojo, Jepara kini terdengar lirih jeritan yang tidak semua orang mau mendengar. Kamis (29/5), puluhan warga dari Dukuh Toplek dan Pendem bersama para aktivis lingkungan mendaki perbukitan, menengok sumber-sumber mata air yang selama ini menjadi denyut kehidupan mereka. Namun, hari itu bukan sekadar perjalanan, melainkan ziarah batin kepada alam yang terancam hilang.
Dalam peringatan Hari Anti Tambang, mereka melihat langsung bagaimana dua dari empat mata air yang selama ini menopang hidup, kini berada di ujung tanduk akibat aktivitas tambang batuan andesit yang makin masif.
“Di sini ada dua sumber mata air di dekat area tambang. Yang berada di dekat penambangan ini terancam hilang,” ucap Saiful Amri, warga Dukuh Toplek, dengan suara berat.
Sehari sebelumnya, warga telah memulai perlawanan kultural. Dinding-dinding rumah disulap menjadi kanvas perlawanan: mural penuh makna, pameran foto, jagongan hukum dan lingkungan, hingga pertunjukan seni dan musik eksperimental. Bagi mereka, ini bukan sekadar aksi, tetapi cara merekam jejak peradaban yang hendak dilenyapkan.
Aktivitas tambang memang bukan sekadar menggerus batuan, tapi juga mengikis ketenangan. Polusi debu dan suara, potensi longsor, ancaman banjir dan semuanya menghantui 130 kepala keluarga yang tinggal hanya sepelemparan batu dari lokasi tambang. Sebelas rumah bahkan nyaris menyatu dengan batas pertambangan.
“Masyarakat malah-malah tambah sengsara,” ujar Ali Imron, Ketua RW 3, yang dengan tegas menyatakan bahwa perjuangan warga bukan digerakkan kepentingan tertentu, tapi lahir dari kesadaran kolektif.
Mereka tak ingin dipindah, meski ditawarkan sumur bor dan dana CSR yang nilainya hanya Rp 5 juta per bulan. Sebab tanah ini bukan sekadar tempat tinggal, tapi ruang hidup, ladang kerja, dan warisan memori yang tak tergantikan.
“Orang bisa dipindah, tapi tidak dengan ingatan,” sambung Ali Imron.
“Bedol desa pun pada gak mau pergi, karena susah, " imbuhnya.
Adetya Pramanadira dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Tengah menegaskan bahwa ini bukan sekadar perjuangan tanah, tapi tentang hak dasar manusia.
“Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Ini mencakup hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,” pungkasnya.
Hari itu, langit Pegunungan Mrico menyaksikan luka yang tak terlihat oleh mesin-mesin tambang. Mata air menangis dalam diam, dan warga bersuara meski di tengah ketidakpastian.
Mereka tak ingin menjadi tamu di tanah sendiri. Mereka hanya ingin hidup.