Notification

×

Iklan

Iklan

Tradisi Uleman Rokok di Jepara Mulai Ditolak Warga: Dinilai Merugikan, Benarkah?

Rabu, 10 Desember 2025 | 09.21 WIB Last Updated 2025-12-10T02:21:54Z

Foto, tangkap layar dari unggahan akun Facebook ISJ.

Queensha.id - Jepara,


Tradisi uleman atau undangan hajatan dengan membawa satu slop rokok—khususnya merek Sukun ukuran kecil—telah berlangsung puluhan tahun di berbagai desa di wilayah Kabupaten Jepara. Dahulu, masyarakat membawa Djarum Super, kemudian bergeser ke Sukun karena dinilai lebih terjangkau dan dianggap “standar uleman Jepara”.


Namun, budaya turun-temurun ini kini menghadapi gelombang penolakan. Setelah viralnya pemberitaan soal kerugian yang dialami pemilik hajat akibat rokok Sukun ukuran kecil ditolak oleh sejumlah warung sembako dengan alasan kedaluwarsa atau jauh melampaui batas edar dan kini warga mulai mempertanyakan relevansi tradisi tersebut.



Rokok Sukun Uleman Ditolak Warung: Warga Merasa Dirugikan


Persoalan ini kembali mencuat setelah unggahan konten kreator asal Jepara, Wiwik Widayati, menjadi viral. Dalam kontennya ia menuliskan:


“Paling bener memang uang saja. Simple dan gak repot bawa, dan penerima juga tidak dipusingkan dengan penjualan hasilnya. Apalagi trend rokok tidak laku dijual atau dihargai sangat rendah. Mari normalisasi nyumbang uang saja semampunya…”


Unggahan tersebut memantik diskusi luas. Banyak warga mengaku kesal karena:


  • Rokok Sukun kecil hasil uleman sulit dijual kembali,
  • Warung hanya menawar dengan harga jauh di bawah standar,
  • Bahkan beberapa warung menolak dengan dalih rokok kedaluwarsa atau di luar masa edar resmi.


Fenomena ini membuat pemilik hajat yang mengharapkan pemasukan dari tradisi uleman justru buntung.



Ramai Seruan Penolakan di Media Sosial Jepara


Di Facebook, berbagai grup lokal seperti “Info Seputar Jepara” membahas gelombang penolakan rokok ukuran kecil sebagai buwoh (buah tangan) hajatan.


Admin akun tersebut bahkan menuliskan:


“#Piye nek uleman buwoh sukun diganti duwet lur? Ben regane ora umpak-umpakan.”


Warga menduga, saat musim hajatan, harga rokok justru dinaikkan pihak warung karena tahu masyarakat membutuhkan slop untuk uleman. Ironisnya, saat rokok itu dijual kembali, alasan yang muncul justru:


  • “Kadaluarsa, Mas.”
  • “Tanggal edarnya kelewat.”
  • “Tidak bisa kami terima, stok pabrik baru turun.”


Hal ini memicu kekecewaan publik dan mendorong lahirnya gerakan sosial: "Stop Uleman Rokok Sukun Ukuran Kecil."



Suara Warga Mantingan: Kami Sudah Lelah dengan Tradisi yang Merugikan


Dari hasil wawancara dengan warga sekitar Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, sebagian besar menyampaikan nada serupa: tradisi ini mulai membebani, bukan lagi mempererat persaudaraan.


Sutikno, seorang warga sekitar mengatakan:


“Sebenarnya niatnya baik, saling bantu di acara hajat. Tapi kalau hasilnya gak bisa dijual, ya sama saja malah nombok. Wong beli satu slop saja sekarang harganya dinaikkan pas musim uleman.”


Sementara Rofi’ah, ibu rumah tangga setempat, menambahkan:


“Yang punya hajat jadi repot. Dulu masih mending rokok laku. Sekarang warung nolak, alasan kadaluarsa. Lah terus kami harus gimana? Makanya lebih setuju kalau ulemannya pakai uang saja," ujarnya.


Ada pula suara yang lebih tegas dari Jumari, tokoh masyarakat:


“Ini sudah bukan soal tradisi lagi, tapi soal kejujuran pedagang dan rantai distribusi. Kalau rokoknya tidak bisa diputar kembali, warga pasti menolak. Sudah banyak yang trauma," ungkapnya.



Pengamat Sosial Jepara: Tradisi Ada untuk Membahagiakan, Bukan Membebani


Pengamat sosial asal Jepara, Purnomo Wardoyo, menilai fenomena ini sebagai tanda perubahan budaya yang wajar:

“Tradisi itu hidup, bukan kaku. Jika masyarakat menemukan bahwa praktik tertentu merugikan, wajar jika muncul koreksi sosial. Uleman rokok dulunya membantu, tetapi saat ini dinamika ekonomi membuatnya tidak relevan," pungkasnya.

Menurut Purnomo, ada tiga faktor utama yang membuat tradisi ini mulai ditinggalkan:



1. Ketidakstabilan harga dan permainan pasar


“Kenaikan harga slop ketika musim hajatan menandakan adanya distorsi pasar. Ini merugikan warga lapis bawah.”



2. Kesulitan menjual kembali hasil uleman


“Penerima hajat bergantung pada penjualan rokok untuk menutup biaya acara. Kalau rokok tidak laku, mereka terjebak kerugian.”



3. Pergeseran nilai ekonomi masyarakat


“Generasi sekarang lebih praktis. Uang dianggap lebih transparan, lebih jujur, dan tidak menimbulkan masalah.”


Purnomo menegaskan bahwa perubahan tradisi bukanlah pengkhianatan terhadap budaya, melainkan tanda kedewasaan sosial.



Arah Baru Uleman Jepara: Normalisasi Sumbangan Uang


Jika gelombang penolakan terus menguat, besar kemungkinan dalam waktu dekat Jepara akan memasuki babak baru tradisi hajatan:


  • Tidak lagi repot mencari rokok slop,
  • Tidak ada lagi komplain kedaluwarsa,
  • Tidak ada lagi permainan harga di warung,
  • Transparan antara yang memberi dan menerima.


Sumbangan uang dianggap sebagai solusi yang paling:

1. Praktis
2. Adil
3. Tidak merugikan
4. Mudah diatur

Gelombang wacana “Uleman Pakai Uang Saja” kini semakin menguat dan disambut baik oleh berbagai kalangan.


***

Tim Redaksi.