Queensha.id - Jepara,
Di sebuah sudut kecil di pesisir utara Jawa Tengah, palu-palu kecil berbunyi pelan, bersahut-sahutan di antara tawa kecil dan embusan napas letih. Di Desa Petekeyan, para ibu rumah tangga tidak hanya sibuk dengan urusan dapur dan anak-anak. Mereka adalah tangan-tangan halus yang melahirkan karya agung dari sepotong kayu untuk para penjaga warisan seni ukir Jepara yang nyaris terlupakan.
Setiap hari, mereka duduk bersila, menggenggam pahat dan palu, menorehkan motif demi motif pada papan kayu yang tampak sederhana namun penuh makna. Umi Kulsum, salah satu pengukir wanita yang kini berusia 40-an tahun, mengaku sudah mulai memahat sejak duduk di bangku kelas 3 SMP. Ia belajar dari ibunya, seperti rantai tak berujung dari satu generasi ke generasi lainnya.
“Aku udah 25 tahun lebih megang palu dan pahat. Kalau berhenti, rasanya seperti kehilangan bagian dari diri sendiri,” ujarnya sambil menyeka peluh di keningnya.
Setiap hari, Umi mengumpulkan upah tak lebih dari Rp50.000-Rp60.000. Jumlah yang terasa jauh dari pantas jika dibandingkan dengan kerumitan dan nilai estetika karya yang ia hasilkan.
“Kami bersyukur masih ada pekerjaan, tapi kalau dilihat hasilnya, sering merasa sedih. Ukiran kami dipajang di rumah mewah, diekspor ke luar negeri, tapi kami tetap hidup dalam kesederhanaan yang nyaris tak berubah,” ucap Umi lirih, matanya menatap kosong ke arah papan kayu yang tengah ia ukir.
Meski begitu, para ibu di Petekeyan tak menyerah. Mereka terus mengukir, bukan hanya kayu, tapi juga harapan. Harapan agar pemerintah lebih memperhatikan mereka, agar seni ukir Jepara kembali dihargai bukan hanya sebagai barang dagangan, tapi juga warisan budaya yang luhur.
Kabar baik datang saat Wakil Ketua MPR, Lestari Moerdijat atau akrab disapa Rerie, mengunjungi Petekeyan. Ia mencoba mengukir sendiri dan merasakan langsung betapa sulitnya pekerjaan tersebut. Dari pengalaman singkat itu, tumbuh rasa empati yang mendalam. Rerie menyatakan niatnya untuk memperjuangkan agar seni ukir Jepara didaftarkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia di UNESCO.
“Setelah saya coba sendiri, saya baru sadar betapa tidak mudahnya menghasilkan satu ukiran. Saya merasa prihatin, karena hasil jerih payah ini tidak sebanding dengan upah yang mereka terima,” ungkapnya.
Harapan itu semakin besar saat Duta Besar Bosnia dan Herzegovina untuk Indonesia, Armin Limo, datang menyaksikan langsung keindahan ukiran dan kehidupan para pengrajin. Dalam kunjungannya, ia menyatakan ketertarikan untuk menjalin kerja sama budaya dan mendukung upaya agar seni ukir Jepara mendapat pengakuan internasional.
Di antara debu kayu dan serpihan-serpihan kecil hasil pahatan, para ibu di Petekeyan menenun mimpi mereka. Mereka tak meminta banyak dan hanya keadilan bagi kerja keras, dan pengakuan bagi seni yang mereka jaga dengan cinta dan peluh.
Sebab di tangan-tangan mereka, bukan hanya kayu yang dibentuk, tapi juga harga diri dan warisan bangsa. Dan semoga, suatu hari nanti, palu mereka tidak hanya memahat kayu tapi juga masa depan yang lebih cerah.
***
Sumber: Mtv.