Foto, penggalian saluran air di aktivitas tambang batuan andesit di wilayah Dukuh Toplek dan Pendem, Desa Sumberrejo, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Jepara. |
Queensha.id - Jepara,
Keresahan warga atas dampak aktivitas tambang batuan andesit di wilayah Dukuh Toplek dan Pendem, Desa Sumberrejo, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Jepara, kian memuncak. Setelah saluran air di sekitar permukiman mereka tersumbat akibat limbah tanah bekas tambang, puluhan warga lintas usia turun tangan menggelar aksi gotong royong pada Minggu (8/6) kemarin.
Dengan peralatan sederhana, warga membersihkan endapan tanah yang menghambat aliran air di gorong-gorong dan saluran pinggir jalan. Situasi menjadi semakin genting ketika hujan deras mengguyur, menyebabkan genangan air bercampur lumpur menutupi badan jalan. Risiko kecelakaan pun meningkat drastis, apalagi letak jalan berada di dekat tebing dan aliran sungai besar.
"Kalau hujan deras, jalan ini tergenang. Licin sekali karena air bercampur lumpur, sangat membahayakan warga yang melintas. Di samping jalan juga ada sungai besar, kalau air meluap bisa memicu longsor," ungkap Amri, salah satu warga yang turut serta dalam aksi bersih-bersih.
Menurut Amri, kerja bakti kali ini difokuskan untuk membuka saluran air yang tertutup tanah tambang. Namun di balik kegiatan tersebut, tersimpan keresahan lebih mendalam: ancaman lingkungan yang terus menghantui.
Tolak Tambang Baru, Warga Galang Dukungan Lewat Aliansi
Aksi bersih-bersih ini tak hanya menjadi bentuk respons terhadap situasi darurat lingkungan, namun juga merupakan simbol perlawanan warga terhadap ancaman ekspansi tambang. Masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Jagat Caping Gunung dengan tegas menolak rencana pembukaan tambang baru seluas 3,6 hektare di kawasan yang sama.
"Memang saat ini aktivitas tambang dihentikan sementara. Tapi warga ingin penutupan permanen. Rencana perluasan tambang jelas mengancam kami," tegas Asmu’i, Ketua RT 2 Dukuh Pendem.
Ia menambahkan bahwa dampak lingkungan dari penambangan tak bisa dianggap sepele. Risiko longsor, pergerakan tanah, hingga ancaman terhadap infrastruktur dan sistem irigasi Bendung Pasokan menjadi kekhawatiran utama.
Janji yang Belum Terealisasi dan Ancaman yang Menghantui
Warga juga menagih janji dari pihak desa dan perangkat pemerintah yang sebelumnya telah menandatangani surat kesepakatan bermeterai pasca demonstrasi pada 10 Januari 2025. Sayangnya, di balik proses penyelesaian yang dijanjikan secara damai, muncul kabar intimidasi terhadap warga.
"Ada warga yang mendapat ancaman premanisme. Padahal kami hanya ingin lingkungan ini tetap lestari, bisa diwariskan untuk anak cucu," ujar seorang warga yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Agenda Lanjutan: Penguatan Struktur Tanah
Sebagai bagian dari upaya lanjutan, warga telah merencanakan kerja bakti susulan pada Jumat (13/6) mendatang. Selain pembersihan, mereka akan memulai teknik pemancangan bambu di sekitar area bekas tambang untuk memperkuat struktur tanah dan mencegah risiko longsor.
Langkah ini menunjukkan kesungguhan warga untuk menjaga tanah kelahiran mereka dari kerusakan yang lebih luas.
“Kami tidak anti pembangunan, tapi harus bijak dan berkelanjutan. Jangan sampai demi tambang, masa depan anak cucu kami dikorbankan,” tutup Asmu’i.
***
Sumber: RK.