Notification

×

Iklan

Iklan

Hidup dalam Kepura-puraan, Potret Pilu Orangtua Demi Anak Jadi Sarjana

Jumat, 27 Juni 2025 | 08.59 WIB Last Updated 2025-06-27T02:02:10Z

Foto, ilustrasi ibu dan seorang anak yang meminta biaya kuliah.

Queensha.id - Cerita Inspiratif, 

Setiap tahun, ribuan calon mahasiswa di Indonesia merayakan kelulusan mereka dari jalur SNBP atau UTBK-SNBT. Euforia itu menggema di berbagai pelosok negeri dan termasuk di rumah-rumah sederhana yang mungkin justru menjadi saksi diam dari kepura-puraan yang menyayat hati.

Anak-anak bersorak bangga: diterima di kampus ternama, bersiap menyandang status sebagai mahasiswa. Namun, jauh dari gegap gempita itu, ada sepasang orangtua yang hanya bisa tersenyum getir. Di balik ucapan “selamat” dan pelukan hangat, mereka diam-diam memutar otak: uang dari mana untuk membayar UKT? Gimana caranya kirim uang bulanan?

Itulah kisah nyata dari banyak keluarga di Indonesia. Di balik kesuksesan seorang mahasiswa, tersimpan cerita tentang perjuangan dan pengorbanan yang tidak pernah tercatat di transkrip akademik. Orangtua yang rela hidup dalam kepura-puraan demi satu harapan: melihat anaknya meraih gelar sarjana.


1. Pura-pura Bahagia Saat Hati Menangis

Pengumuman kelulusan masuk perguruan tinggi kerap menjadi momen emosional. Anak melompat kegirangan, membayangkan mengenakan almamater kampus favorit. Tapi bagi orangtua, kebahagiaan itu kadang hanya topeng.

Di lubuk hati, mereka justru panik—bagaimana membiayai kuliah ini? Ada bapak di desa yang nelangsa setelah anaknya diterima di universitas negeri, karena ia sadar betapa mahalnya biaya kuliah meskipun “katanya” negeri. Namun, air mata itu tidak pernah tumpah di depan sang anak. Yang ada hanyalah senyuman getir dan doa dalam diam.


2. Bilang “Sanggup Bayar UKT”, Padahal Hutang di Mana-mana

Cerita dari Mojok menggambarkan bagaimana seorang sopir truk mengiyakan kuliah anaknya, meski tahu dirinya megap-megap untuk urusan biaya. Ia meminjam uang sana-sini, bahkan kadang tak makan cukup, demi menutupi tagihan UKT dan biaya hidup anak di perantauan.

Sementara anak menikmati hari-hari sibuk di kampus—kuliah, nongkrong, ikut organisasi—sang bapak mengemudi dari pagi sampai larut malam. Semua demi satu tujuan: anaknya tidak tahu betapa hancur keuangan keluarga demi cita-citanya.


3. Minta Anak Jangan Telat Makan, Padahal Diri Sendiri Lapar

“Jangan lupa makan ya, Nak,” adalah kalimat sakral dalam setiap telepon orangtua. Kadang bahkan disusul dengan, “Kalau kurang uang, bilang. Nanti Ibu kirim.” Padahal, untuk mengucap itu, sang ibu bisa jadi sedang menahan lapar karena uang belanja sudah terkuras untuk ongkos kirim minggu lalu.

Orangtua sering menyembunyikan derita demi membuat anak tenang. Mereka ingin anaknya fokus belajar, tidak terganggu masalah rumah. Ironisnya, perhatian yang diberikan justru menciptakan tekanan baru: makin kuatlah mereka harus berpura-pura.


4. Bilang “Baik-baik Saja”, Padahal Kesepian Teramat Sangat

Kesepian adalah luka yang tak tampak. Orangtua di rumah hanya bisa memandangi kamar kosong yang dulu dihuni anak. Mereka menjawab “Alhamdulillah, sehat” saat ditanya kabar lewat telepon, padahal batin terasa kosong.

Libur semester pun tak menjamin kebersamaan. Kadang anak harus tetap di kota karena alasan praktikum, organisasi, atau sekadar tidak cukup ongkos pulang. Lagi-lagi, orangtua menanggapi dengan kalimat andalan: “Nggak apa-apa, yang penting kamu sehat.” Padahal, satu-satunya yang mereka harapkan cuma satu: pelukan dari anak yang teramat dirindukan.


Akhirnya: Anak Lulus, Tapi Orangtua Kehilangan Diri

Tak jarang, ketika akhirnya anak berhasil meraih gelar sarjana, justru orangtua yang “gugur” dalam diam. Mereka kehilangan kesehatan, kehilangan waktu, kehilangan momen hidup. Tapi mereka tetap diam, sebab semua pengorbanan itu dianggap lunas oleh satu momen: ketika sang anak berdiri di podium wisuda.

Namun, dunia perlu tahu, bahwa di balik toga dan ijazah, ada sosok yang membayar dengan air mata, perut kosong, dan malam-malam sepi yang panjang.


Cerita ini tidak dimaksudkan untuk menyalahkan siapa pun. Hanya sebagai pengingat, bahwa menjadi anak kuliah bukan sekadar tentang ambisi pribadi. Ada orangtua di rumah yang mungkin sedang menyembunyikan luka demi melihat kita berhasil. Maka, jangan hanya jadi sarjana di atas kertas. Jadilah manusia yang tahu diri, tahu balas budi.

Karena kadang, cinta paling murni tidak terdengar dari suara, tapi dari kepura-puraan yang dilakukan demi kita.

***

Sumber: Mojok.co (Liputan), 
Tanggal: 27 Juni 2025.

×
Berita Terbaru Update