Notification

×

Iklan

Iklan

Matinya Industri Radio di Indonesia: Suara yang Perlahan Menghilang

Senin, 02 Juni 2025 | 19.02 WIB Last Updated 2025-06-02T12:06:36Z
Foto, fenomena alat informasi suara. Radio.


Queensha.id - Teknologi, 

Masihkah Anda mendengarkan radio? Berapa lama? Hanya saat macet di mobil?

Dua dekade silam, suara radio masih menjadi teman setia masyarakat Indonesia. Di tahun 2003, lebih dari 50 persen penduduk tanah air mendengarkan radio setiap hari. Dari penyiar pagi dengan sapaan khasnya, deretan lagu nostalgia, hingga kuis interaktif via SMS dan radio menjadi denyut kehidupan, baik di kota besar maupun desa terpencil.

Kini, dua puluh tahun kemudian, suara itu nyaris senyap.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Algo Research mencatat keterlibatan pendengar radio nasional merosot tajam ke angka 10 persen pada tahun 2021. Seperti gema samar dari masa lalu, radio kini hanya terdengar di kabin mobil atau warung kopi tua yang kalah bersaing dengan notifikasi Spotify, YouTube, dan TikTok.

Ini bukan sekadar soal perubahan tren. Ini adalah kemunduran drastis dari sebuah ekosistem penyiaran yang lambat beradaptasi. Radio, sang penguasa udara selama puluhan tahun, kini tersisih oleh disrupsi digital yang tanpa ampun.


Ketika Frekuensi Dibungkam

Di Jakarta, nama-nama besar radio satu per satu pamit. Hard Rock FM, Mustang FM, Cosmopolitan FM, dan OZ Radio mematikan siarannya. Brava Radio bahkan menjual frekuensi dan hak siarnya—keputusan drastis yang bagi sebagian orang terasa seperti menjual nyawa sendiri.

Di balik frekuensi yang mati, ada manusia. Ada penyiar yang menggantungkan headphone-nya untuk terakhir kali. Produser yang merapikan naskah siaran dengan berat hati. Teknisi yang mematikan pemancar seperti menutup peti suara.

Prambors dan Delta FM merupakan ikon radio generasi muda dan dewasa bahkan dikabarkan menjual gedung demi membayar gaji dan tunjangan hari raya. Ironi pahit di tengah euforia perusahaan teknologi yang berlomba membuka kantor futuristik.

Tak ada siaran perpisahan. Tak ada lagu terakhir yang mengiringi kepergian. Hanya sunyi. Hanya kenangan.


Disrupsi Digital: Tamu Tak Diundang

Digitalisasi mengubah peta media. Streaming audio, podcast, playlist personal, hingga AI voice menggantikan fungsi yang selama ini diisi radio. Spotify menawarkan musik sesuai suasana hati. YouTube menyajikan obrolan panjang dan set DJ global hanya dengan satu klik. Podcast menyuguhkan konten mendalam tanpa harus menunggu jam tayang.

Radio, dengan format linier dan waktu tetap, kalah cepat, kalah relevan. Ia menjadi seperti toko kelontong yang mencoba bertahan di antara serbuan minimarket dan aplikasi belanja daring.


Namun Radio Pernah Begitu Penting

Sebelum kita menguburnya, mari kita ingat: radio pernah punya tempat yang sangat berarti.

Ia menjadi pengantar berita reformasi 1998, penghibur di tengah krisis ekonomi, teman setia di dapur, di jalan tol, di pasar tradisional. Radio adalah media pertama yang menyapa, bukan hanya mengabari. Ia adalah medium yang tak perlu dilihat untuk bisa dirasakan.


Bisakah Radio Bangkit Kembali?

Radio tidak harus mati. Ia hanya perlu berubah.

1. Migrasi Digital sebagai Pola Pikir

Radio bukan sekadar memindahkan siaran ke aplikasi. Ia harus menyesuaikan konten dengan budaya digital: podcast yang jujur, musik yang dikurasi dengan hati, bukan oleh algoritma.

2. Segmentasi Audiens yang Realistis

Tak perlu mengejar Gen Z yang asyik dengan TikTok. Sapa pendengar usia matang yang masih merindukan sapaan manusiawi dari balik frekuensi.

3. Berpikir Lokal, Bertindak Personal

Radio bisa menjadi ruang cerita lokal yang tak tergantikan. Dialek, pasar, perayaan desa—semuanya adalah konten yang tak bisa ditiru Spotify.

4. Kolaborasi dengan Komunitas

Buka ruang. Undang musisi indie, kreator konten, penyair lokal. Jadikan studio radio sebagai ruang komunitas, bukan sekadar pemancar suara satu arah.


Masih Ada Ruang untuk Suara

Dalam dunia yang makin visual dan serba instan, radio adalah pengingat bahwa suara masih punya kekuatan untuk menyentuh. Untuk menemani. Untuk mendengarkan.

Radio adalah warisan budaya sekaligus potensi masa depan—asal ia mau mendengarkan kembali denyut zaman. Kita masih butuh medium yang jujur, hangat, dan manusiawi. Bukan hanya pintar, tapi juga peduli.

Dan mungkin, di tengah riuh dunia digital, masih ada ruang bagi suara yang tulus.

Radio tak benar-benar mati. Ia hanya sedang mencari cara baru untuk hidup.

***

Sumber: Wicaksono.
×
Berita Terbaru Update