Queensha.id - Jepara,
Di tengah derasnya arus perubahan zaman dan modernisasi dunia pendidikan, masih ada sosok-sosok yang memilih berjalan dengan sepenuh hati, setia pada nilai-nilai pengabdian, dan teguh dalam cita-cita awal: mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu di antaranya adalah Sarno, S.Pd., M.Pd., Kepala SDN 04 Kriyan, Kecamatan Kalinyamatan, Kabupaten Jepara.
Nama Sarno bukanlah hal baru di kalangan pendidik dasar di Kabupaten Jepara. Ia telah mengabdikan diri sejak tahun 1993, dimulai dari sebuah desa kecil bernama Damarjati. Kala itu, ia datang sebagai lulusan ikatan dinas dari D2 PGSD Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Penempatannya di Jepara bukan sekadar formalitas pengabdian, melainkan titik awal dari perjalanan panjang penuh dedikasi.
Lahir di Dukuh Tenggar, Desa Jatirejo, Kecamatan Jatiroto, Kabupaten Wonogiri, pada 1967, Sarno tumbuh dalam keluarga sederhana namun sarat semangat. Sejak kecil, ia telah memperlihatkan kecemerlangan akademik. Saat duduk di bangku SD, ia rutin meraih peringkat pertama, hingga mendapat beasiswa berprestasi sebesar Rp 60.000 per tahun yang kala itu sangat berarti bagi keluarganya.
“Uang beasiswa itu seperti harta karun bagi saya. Saya simpan baik-baik untuk sekolah. Saya ingin jadi guru, seperti bapak-ibu guru saya yang sabar dan ikhlas membimbing,” ungkap Sarno, matanya menerawang mengenang masa lalu saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (5/6/2025).
Cita-citanya menjadi guru bukan ambisi kosong. Ia menolak peluang masuk sekolah favorit demi memilih SPGN (Sekolah Pendidikan Guru Negeri) di Wonogiri agar bisa langsung mengajar. Namun takdir berkata lain: aturan pemerintah yang berubah mewajibkan minimal D2 sebagai syarat menjadi guru. Tak menyerah, Sarno melanjutkan kuliah di D2 PGSD UNS, hingga akhirnya lulus dan ditugaskan ke Jepara.
Jepara di awal 1990-an bukan tempat yang mudah bagi seorang guru muda. Sarana pendidikan minim, akses jalan belum beraspal, dan teknologi masih jadi barang mewah.
“Kami mengajar dengan alat seadanya, papan tulis, kapur, dan niat tulus. Banyak guru dan siswa masih jalan kaki, sepeda adalah kemewahan kala itu,” kenangnya.
Gaji terbatas membuat Sarno berinisiatif memberi les tambahan untuk anak-anak di sekitar sekolah, dengan bayaran sukarela.
“Kadang hanya Rp 200, kadang Rp 500. Tapi saya bahagia karena bisa membantu mereka belajar lebih baik,” katanya.
Dedikasi tak pernah mengkhianati hasil. Tahun 2004, Sarno menyabet Juara 1 Guru Berprestasi tingkat Kabupaten Jepara, lalu meraih Juara 2 tingkat Provinsi Jawa Tengah. Puncaknya, tahun 2009, ia menerima Satyalancana Karya Satya dari Presiden SBY, penghargaan bergengsi bagi ASN yang mengabdi dengan penuh loyalitas.
Kariernya pun terus menanjak. Pada 2013, Sarno dilantik sebagai Kepala SDN 1 Bantargading setelah melalui seleksi ketat di LPFP Semarang. Saat ini, ia menjabat Kepala SDN 04 Kriyan, tetap dengan semangat yang sama seperti 30 tahun lalu: mendidik dengan hati.
Meski berbagai jabatan dan penghargaan telah diraih, Sarno tetap rendah hati. Ia lebih senang dikenal sebagai "guru kampung" yang cinta anak-anak. “Yang penting saya bisa bermanfaat untuk murid-murid dan masyarakat. Itu tujuan saya sejak awal,” ucapnya pelan, senyum khasnya mengembang.
Di tengah gemuruh kebijakan pendidikan yang silih berganti, Sarno menjadi pengingat bahwa sejatinya pendidikan dibangun bukan hanya dari kurikulum dan infrastruktur, tetapi dari manusia-manusia yang tulus seperti dirinya.
Sarno adalah gambaran guru sejati: sederhana dalam hidup, kaya dalam dedikasi.
***
Sumber: Suara Pendidikan.