Notification

×

Iklan

Iklan

Sarjana Komputer Rugi Puluhan Juta Gara-Gara Ternak Maggot! Tapi Endingnya Bikin Salut…

Senin, 02 Juni 2025 | 10.49 WIB Last Updated 2025-06-02T03:50:57Z
Foto, ternak Mogot di Wonosobo.


Queensha.id - Wonosobo,

Siapa sangka, gelar sarjana komputer tak menghentikan langkah seorang pria ini untuk berjibaku dengan belatung, kotoran ayam, dan kolam lele. Namanya Bapak Hardianto, warga Wonosobo yang awalnya hanya iseng memelihara ikan di tengah pandemi. Tapi jalan hidup membawanya lebih jauh—hingga jadi inspirasi bagi ratusan peternak pemula di Indonesia.

Dari Dunia Digital ke Dunia Maggot

Awalnya, Hardi adalah seorang pekerja digital. Saat pandemi COVID-19 melanda, usahanya goyah dan perlahan runtuh. Tapi alih-alih larut dalam keterpurukan, ia melirik sebidang tanah 1.000 meter persegi miliknya—yang dulu cuma jadi tempat iseng. Di sanalah ia memulai budidaya ikan lele.

Namun, impiannya mencetak cuan cepat kandas. Harga pakan pabrikan mahal, sementara hasil panen tak sebanding. Lalu datang ide segar: beternak maggot—larva dari lalat Black Soldier Fly (BSF)—yang katanya ramah lingkungan dan murah. Tapi ekspektasi tak selalu sejalan dengan realita.

Puluhan Juta Melayang Karena Salah Strategi

Berbekal semangat dan video tutorial di YouTube, Hardi mencoba budidaya maggot dari sampah pasar. Bukannya untung, ia justru buntung. Sampah sayur yang digunakan ternyata terlalu basah, cepat membusuk, dan menimbulkan biaya tinggi untuk pengolahan dan pengangkutan. Tak disangka, ia harus merogoh kantong hingga puluhan juta rupiah, dan ketika dihitung, harga pokok produksinya tembus Rp15.000 per kilogram—dua kali lipat dari pakan ikan biasa!

"Rasanya nyesek, ya. Tapi saya yakin, pasti ada cara yang lebih efisien," kata Hardi dalam sebuah wawancara di kanal YouTube Tanilink TV.

Titik Balik: Menyatukan Ayam, Maggot, dan Lele

Titik terang datang ketika Hardi menemukan konsep integrated farming—peternakan terpadu yang menyatukan beberapa sistem budidaya dalam satu siklus. Ia mulai membangun kandang ayam di atas rak maggot. Kotoran ayam dijadikan media maggot. Maggot jadi pakan ikan. Limbah maggot? Jadi pupuk organik.

Semuanya terpakai. Tak ada yang dibuang.

Dan hasilnya? Harga pokok produksi maggot turun drastis jadi hanya Rp1.200/kg dan termasuk gaji karyawan! Kini, setiap bulan, Hardi mampu memanen 1 ton ayam dan 1 ton ikan lele, semuanya diberi pakan dari maggot yang ia ternak sendiri.

“Saya tidak perlu beli pakan pabrikan lagi,” katanya sambil tersenyum.

Bukan Sekadar Ladang, Tapi Sekolah Kehidupan

Usaha yang ia beri nama NZ BSF Farm ini kini jadi rujukan banyak peternak pemula. Ia membuka pelatihan, magang, bahkan konsultasi bagi siapa pun yang ingin belajar. Tak tanggung-tanggung, ia ajarkan semua: dari perhitungan HPP, cara membuat pakan alami, hingga strategi pemasaran langsung ke konsumen akhir.

Salah satu peserta, Izzy, mengaku lebih dari sekadar belajar ternak. “Saya belajar jadi mandiri. Bukan hanya soal maggot, tapi soal cara berpikir dan bertahan,” ujarnya.

Lebih dari Sekadar Bisnis

Perjalanan Bapak Hardi adalah bukti nyata bahwa gagal bukan akhir cerita. Bahwa dari tanah, kotoran, dan belatung, bisa lahir solusi pangan masa depan yang murah, efisien, dan ramah lingkungan. Dari lahan sederhana, tercipta sistem yang saling menopang dan tanpa limbah, tanpa ketergantungan.

Dan yang terpenting, ia membuktikan bahwa tak perlu menunggu kaya atau sempurna untuk memulai. Cukup satu langkah kecil, dan keberanian untuk terus belajar dari setiap kegagalan.


Editor: Kisah ini diangkat dari kanal YouTube Tanilink TV dan telah diadaptasi untuk kepentingan edukasi dan inspirasi masyarakat luas.
Reporter: Tim Redaksi AgroMuda.
×
Berita Terbaru Update