Notification

×

Iklan

Iklan

Negara Tertarik pada Rekening Nganggur, Tapi Abai pada Pengangguran

Kamis, 31 Juli 2025 | 06.56 WIB Last Updated 2025-07-30T23:59:56Z

Foto, pelamar pekerjaan yang masih nganggur.

Queensha.id - Jakarta,


Di negeri ini, diam bisa jadi kesalahan. Sebuah rekening yang tak bergerak selama tiga bulan kini dianggap mencurigakan. Ia dibekukan, ditandai, bahkan dicurigai menyimpan niat jahat. Tapi ironisnya, jutaan manusia yang juga “tak bergerak” karena kehilangan pekerjaan dan penghasilan tak kunjung dianggap penting. Tak dibekukan, memang, tapi juga tak disentuh.


Inilah potret ganjil kebijakan digital yang kini ramai diperbincangkan publik. Negara bergerak cepat terhadap rekening dormant, tapi berjalan lamban terhadap problem pengangguran.



Antara Satire dan Kenyataan


Sebuah ironi viral di media sosial berbunyi:


"Rekening nganggur 3 bulan diblokir negara... Tanah nganggur 2 tahun disita negara... Kamu nganggur bertahun-tahun, negara tidak peduli."


Lelucon getir itu sejatinya menyuarakan keresahan mendalam. Bukan hanya soal rekening, tapi tentang kehadiran negara yang terasa pilih kasih: sigap pada saldo, lambat pada nasib.


Menurut data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sepanjang 2024 tercatat lebih dari 28.000 rekening pasif digunakan untuk transaksi ilegal: dari judi online, narkotika, hingga penipuan digital lintas negara. Total uang gelap yang terdeteksi mencapai Rp 4,2 triliun.


Dengan data itu, PPATK tentu punya alasan kuat untuk bergerak. Namun, publik bertanya:


Apakah semua rekening pasif patut dicurigai?


Bagaimana dengan rekening petani yang hanya aktif pasca-panen? Atau rekening buruh migran yang baru akan digunakan saat mereka pulang?



Ketika Privasi Warga Jadi Target


Di negara maju seperti Jepang, rekening pasif baru dianggap aset tak bertuan setelah lima tahun dan melalui pemberitahuan bertahap. Di Inggris, dana dari rekening dormant bahkan disalurkan ke kegiatan amal melalui program Dormant Accounts Scheme.


Di Indonesia? Tiga bulan tak aktif saja, rekening bisa langsung dibekukan. Tanpa edukasi publik, tanpa notifikasi yang layak, dan tanpa sistem klarifikasi yang ramah.


Tak heran bila banyak warga panik, bahkan tak tahu kesalahan mereka. Survei OJK 2023 menunjukkan bahwa hanya 49,68% masyarakat Indonesia memahami dasar-dasar keuangan digital. Di tengah rendahnya literasi, tindakan cepat tanpa edukasi hanya akan menumbuhkan rasa takut dan rasa tak percaya.



Di Mana Kepedulian untuk Pengangguran?


Bandingkan dengan angka pengangguran. Per Februari 2024, menurut BPS, ada 7,2 juta pengangguran terbuka di Indonesia. Jika digabung dengan pekerja informal dan tak sesuai kompetensi, jumlahnya menembus 15 juta jiwa.


Apakah mereka juga mendapatkan peringatan? Edukasi? Pendampingan? Tidak. Karena mereka bukan rekening.


Di Jerman, pengangguran dipanggil secara aktif, diberi pelatihan, dan dicarikan kerja. Di Singapura, warga dewasa diberi kredit pelatihan tahunan untuk meningkatkan keterampilan. Di Australia, tunjangan pengangguran disertai program pembimbingan karier.


Sementara di Indonesia, pengangguran lebih sering menjadi statistik tahunan ketimbang subjek kebijakan aktif.



Yang Diam Tak Selalu Salah


Negara memang punya hak untuk menjaga sistem keuangan. Tapi menjaga tidak sama dengan mencurigai membabi buta. Tak semua yang pasif itu jahat. Tak semua yang tak bergerak itu menyembunyikan niat kriminal.


Justru diam bisa jadi bentuk dari kelelahan. Dari keterbatasan akses. Atau dari sistem yang tak ramah pada warga kecil.



Menuju Kebijakan yang Lebih Adil


Ada sejumlah langkah yang bisa dilakukan pemerintah:


  1. Notifikasi berlapis berbasis risiko, bukan pembekuan mendadak.
  2. Perlindungan hukum untuk rekening dormant, agar tidak mudah disita tanpa proses hukum.
  3. Pusat edukasi keuangan digital nasional, untuk literasi publik secara massif.
  4. Saluran klarifikasi cepat dan mudah, agar publik tak merasa tersesat sendiri.
  5. Tinjauan ulang batas waktu 3 bulan, agar lebih proporsional.
  6. Fokus pada pelaku kejahatan, bukan warga biasa.


Negara yang kuat bukan yang paling curiga, tapi yang paling peduli. Karena jika negara lebih sibuk mengawasi rekening diam daripada membangun harapan bagi manusia yang kehilangan pekerjaan, maka yang membeku bukan hanya saldo tapi juga nurani.


***

Sumber: Kps.

Queensha Jepara.

×
Berita Terbaru Update