Foto, pesan singkat dari pepatah Jawa. |
Queensha.id - Edukasi Sosial,
Istilah “kuwalat” sudah lama melekat dalam tradisi lisan masyarakat Jawa dan beberapa daerah lain di Indonesia. Kata ini kerap muncul sebagai peringatan keras: jangan sampai durhaka kepada orang tua, melanggar norma adat, atau bertindak semena-mena terhadap sesama. Sebab, siapa yang berani melakukannya diyakini akan berakhir celaka.
Dalam budaya Jawa, kuwalat sering dianggap sebagai balasan yang langsung diberikan oleh alam atau kekuatan gaib terhadap seseorang yang melakukan kesalahan. Tidak jarang, kisah-kisah kuwalat dituturkan turun-temurun, menjadi pengingat agar manusia berhati-hati dalam bersikap.
Dimensi Religius: Hukum Sebab-Akibat dalam Pandangan Islam
Meski kuwalat berakar dari tradisi lokal, pandangan agama juga sering disandingkan dengan istilah ini.
KH. Ahmad Baidlowi, seorang ulama terkemuka asal Kudus, menegaskan bahwa dalam Islam tidak ada istilah khusus “kuwalat”, namun substansinya bisa dipahami dalam kerangka balasan Allah atas perbuatan manusia.
“Durhaka kepada orang tua itu dosa besar. Jika kemudian hidupnya menjadi susah, sering sakit, atau usahanya selalu gagal, itu bisa dipandang sebagai teguran dari Allah. Jadi bukan sekadar kuwalat dalam arti mistis, tetapi memang sunnatullah: siapa yang berbuat buruk, ia akan menuai akibatnya,” jelas KH. Baidlowi.
Beliau menambahkan, fenomena ini harus dipahami bukan sebagai tahayul, melainkan pengingat agar manusia tidak sombong, tidak meremehkan orang tua, dan selalu menjaga adab.
Testimoni Warga: “Saya Baru Sadar Setelah Celaka”
Banyak masyarakat mengaku pernah mengalami sendiri yang disebut kuwalat. Salah satunya adalah Sunarti (47), warga Desa Keling, Jepara. Ia menuturkan kisah ketika muda dulu sering membantah dan membentak ibunya.
“Waktu itu saya merasa benar sendiri. Ibu saya marah, lalu bilang, ‘Kowe nek ora eling, bakal kuwalat.’ Benar saja, beberapa bulan kemudian saya jatuh sakit keras, nggak bisa jalan hampir setahun. Setelah minta maaf dan sungkem ke ibu, pelan-pelan badan saya pulih. Saya percaya itu kuwalat karena durhaka,” kenangnya dengan mata berkaca-kaca.
Cerita serupa kerap ditemukan di berbagai daerah. Mulai dari orang yang selalu gagal usaha setelah menelantarkan orang tuanya, hingga yang mengalami musibah setelah meremehkan nasihat leluhur.
Antara Takdir dan Pengingat Moral
Fenomena kuwalat akhirnya bukan hanya sekadar kepercayaan turun-temurun, melainkan bagian dari sistem sosial yang berfungsi sebagai kontrol moral. Dengan adanya keyakinan ini, masyarakat diajarkan untuk lebih berhati-hati dalam bersikap, terutama terhadap orang tua dan sesama.
Seperti pesan KH. Baidlowi, “Kalau masyarakat menyebutnya kuwalat, dalam Islam itu bisa kita pahami sebagai dosa yang diberi teguran. Intinya, jangan sampai meremehkan orang tua, karena ridha Allah tergantung ridha mereka.”
***
Sumber: BS.