Notification

×

Iklan

Iklan

Rumini dan Tekad Para Pengukir Perempuan Jepara: Dari Ruang Kecil ke Pentas Dunia

Minggu, 31 Agustus 2025 | 07.53 WIB Last Updated 2025-08-31T00:55:06Z

Foto, Sabtu (30/8/2025) sore, di tengah gegap gempita Semarak Budaya 2025 di Pantai Kartini.

Queensha.id - Jepara,


Tangan Rumini (47) tampak cekatan memainkan tatah dan palu kecil di atas kayu jati. Setiap ketukan pelan menghadirkan lekuk halus yang kelak menjadi bagian dari motif ukir khas Jepara. Ia tidak hanya sekadar mengukir kayu, tetapi juga mengukir harapan tentang bagaimana perempuan Jepara bisa berdiri sejajar dalam dunia seni yang selama ini identik dengan laki-laki.


Sabtu (30/8/2025) sore, di tengah gegap gempita Semarak Budaya 2025 di Pantai Kartini, Rumini berdiri di hadapan ratusan orang. Dengan suara bergetar namun penuh keyakinan, ia memimpin deklarasi berdirinya Paguyuban Pengukir Perempuan R.A. Kartini Kabupaten Jepara.


“Kami ingin perempuan pengukir punya wadah, bukan sekadar ikut-ikutan. Kami ingin suara kami terdengar, karya kami dihargai,” kata Rumini usai membacakan deklarasi.



Dari Desa ke Kementerian


Perjalanan Rumini di dunia ukir bukan hal mudah. Ia belajar sejak remaja, menekuni kerajinan dari bengkel kecil di kampung. Hasil karyanya sempat hanya dipandang sebelah mata, kalah dengan pesanan besar yang dikuasai perajin laki-laki.


Namun, tekadnya membuahkan hasil. Salah satu karyanya pernah dipilih untuk menghiasi ruang kerja Wakil Menteri HAM RI, Mugiyanto. “Itu jadi kebanggaan tersendiri. Dari ruang kecil di Jepara, karya kami bisa sampai ke ruang-ruang penting di Jakarta,” ucapnya dengan mata berbinar.



Kartini dan Ukiran Perempuan


Bagi Rumini dan rekan-rekannya—Sri Maryati, Nur Hidayah, Zuafah, hingga Tini—memilih nama R.A. Kartini untuk paguyuban bukan sekadar simbol. Kartini adalah sosok yang memperjuangkan pendidikan dan emansipasi, sekaligus orang yang memperkenalkan ukiran Jepara ke mata dunia.


“Kalau tidak ada Kartini, mungkin ukiran Jepara tidak seterkenal sekarang. Kami ingin meneruskan jejak itu,” kata Sri Maryati.



Antara Dapur, Keluarga, dan Kayu Jati


Kisah pengukir perempuan selalu berlapis. Di balik karya indah, ada pengorbanan besar. Rumini misalnya, tetap harus membagi waktu antara mengukir, mengurus rumah tangga, dan mendampingi anak-anak belajar.


“Kadang orang menganggap perempuan cukup di dapur. Tapi kami ingin buktikan, perempuan juga bisa menjaga warisan budaya,” ungkap Tini.


Mereka menolak dilema antara rumah tangga dan karya. Bagi mereka, keduanya bisa jalan beriringan, asal ada dukungan keluarga dan lingkungan.



Jepara dan Masa Depan Ukir


Deklarasi Paguyuban Kartini juga menjadi jawaban atas tantangan besar: regenerasi pengukir Jepara. Data Yayasan Peluk mencatat, jumlah pengukir kini tinggal sekitar 7.000 orang—angka yang terus menurun.


Dengan wadah baru ini, para pengukir perempuan berharap bisa menginspirasi generasi muda, khususnya anak perempuan, untuk tidak malu belajar mengukir.


“Kami tidak ingin seni ukir hanya tinggal cerita. Lewat paguyuban ini, kami ingin ada regenerasi, agar ukir tetap jadi jati diri Jepara,” kata Nur Hidayah.



Dari Jepara untuk Dunia


Di akhir acara, Rumini menatap panggung tempat para pelajar memamerkan hasil karya ukir dan mewarnai motif kayu. Ratusan anak berlari riang dengan hasil lomba di tangan.


“Ini masa depan,” bisiknya lirih.


Deklarasi itu mungkin hanya sebuah langkah kecil. Tapi dari ruang kecil itulah, dari tangan perempuan-perempuan yang gigih, ukiran Jepara akan terus hidup—mewarisi semangat Kartini, menolak padam oleh zaman.


***

×
Berita Terbaru Update