Foto, CEO UIPM Indonesia, Rantastia Nur Alangan saat menghadiri acara di PBB. |
Queensha.id - Jakarta,
Indonesia dikenal sebagai negara multikultural dengan ratusan etnis, suku, dan masyarakat adat yang memiliki solidaritas internal, kekuatan budaya, serta sistem hukum tradisional yang masih hidup hingga kini. Namun, potensi besar ini bisa menjadi ancaman jika salah kelola.
Menurut Dr. Ahmad Fadli, peneliti antropologi politik dari Universitas Indonesia, apabila kekuatan masyarakat adat dimobilisasi dalam bentuk kemarahan massal, dampaknya bisa menimbulkan konflik sosial luas yang berujung pada instabilitas nasional.
“Sejarah membuktikan, mobilisasi massa adat atau suku pernah beberapa kali terjadi sebagai respon terhadap ketidakadilan. Suaranya sangat kuat, dan jika tidak diantisipasi bisa menekan negara hingga ke level politik nasional,” kata Fadli, Minggu (14/9/2025).
Peran Hakiki Masyarakat Adat
Meski demikian, masyarakat adat pada dasarnya condong menjaga keseimbangan, keadilan, dan harmoni. Hukum adat tidak hanya mengatur perang atau perlawanan, melainkan juga memiliki sistem penyelesaian konflik yang restoratif: musyawarah, perdamaian, ganti rugi, hingga pemulihan relasi sosial.
“Kalau negara menghormati hukum adat, masyarakat adat justru akan menjadi penopang persatuan bangsa. Mereka bisa menjadi pagar moral dan sosial, bukan pemicu konflik,” lanjut Fadli.
Daya Kekuatan: Contoh Suku Dayak
Sebagai contoh, suku Dayak di Kalimantan sering kali dikenal dengan tradisi perang dan simbol-simbol seperti mandau (parang adat). Bahkan ada mitos tentang “parang terbang”. Namun, itu lebih sering muncul dalam ranah mitologi atau kondisi ekstrem ketika tanah dan martabat mereka benar-benar terancam.
Dalam keseharian, masyarakat Dayak justru menjadi penjaga hutan, pengembang budaya, sekaligus mitra strategis negara dalam menjaga kedaulatan serta kelestarian alam.
Bahaya Jika Tuntutan Bersatu
Ancaman terbesar bukan semata-mata pada senjata tradisional atau kekuatan fisik, melainkan pada jumlah. Jika ratusan suku di Indonesia bersatu membawa satu tuntutan politik, dampaknya bisa memicu krisis politik, kekacauan ekonomi, bahkan membuka ruang intervensi asing.
Jalan Damai: Dialog dan Penghormatan
Untuk mencegah hal itu, pemerintah diminta tidak meremehkan suara masyarakat adat. DPR bersama lembaga eksekutif diharapkan membuka ruang dialog dengan tokoh adat, tokoh agama, dan perwakilan rakyat.
CEO UIPM Indonesia, Rantastia Nur Alangan, turut menyoroti perkembangan situasi sosial yang semakin tegang.
“Situasi dan kondisi saat ini makin parah. Demo terjadi di mana-mana. Ini alarm keras bagi negara. Kalau suara rakyat, apalagi suara masyarakat adat, terus diabaikan, potensi eskalasi bisa lebih besar,” tegas Rantastia.
Ia menambahkan bahwa negara tidak boleh hanya merespons dengan pendekatan keamanan, tetapi harus mengedepankan dialog yang jujur dan terbuka.
“Masyarakat adat jangan dipandang sebagai ancaman, melainkan mitra strategis bangsa. Kalau negara hadir dengan penghormatan dan membuka ruang dialog, maka kekuatan adat akan menjadi benteng persatuan. Tetapi kalau mereka diabaikan, potensi konflik bisa membesar dan merugikan kita semua,” pungkasnya.
***
Sumber: RNA.