Notification

×

Iklan

Iklan

Kaya dan Miskin, Sama-Sama Sunyi Tanpa Keturunan

Senin, 08 September 2025 | 14.07 WIB Last Updated 2025-09-08T07:07:49Z

Foto, ilustrasi suami istri.

Queensha.id - Jepara,


Di tengah kehidupan masyarakat yang sarat dengan perbedaan strata sosial, ada satu hal yang sering luput dari perhatian: kesunyian pasangan yang hidup tanpa keturunan. Baik yang kaya raya maupun yang hidup dalam kemiskinan, mereka sama-sama merasakan hampa yang tak bisa ditukar dengan harta atau diukur dengan kesederhanaan.


Bagi sebagian orang, anak adalah penerus garis keturunan sekaligus sumber kebahagiaan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan tidak semua pasangan diberi kesempatan untuk merasakan hadirnya buah hati.



Kesunyian di Balik Kemewahan


Kisah ini dialami oleh pasangan kaya asal Jepara, yang enggan disebutkan namanya. Rumah megah, kendaraan mewah, hingga usaha yang berkembang pesat mereka miliki. Namun, di balik itu, kesedihan tak pernah hilang karena tak ada tangis anak kecil yang mengisi ruang kosong di rumah besar mereka.


“Kalau orang lihat dari luar, hidup kami sempurna. Tapi siapa yang tahu kalau kami berdua sering menangis di malam hari. Rumah besar ini sunyi, seakan tak ada jiwa yang hidup selain kami berdua,” tutur seorang perempuan warga Kecamatan Tahunan dengan mata berkaca-kaca.


Ia mengaku, meskipun harta melimpah, sering muncul rasa iri saat melihat tetangga sederhana bermain bersama anak-anak mereka. “Kadang kami merasa Tuhan tidak adil. Tapi lalu sadar, mungkin ini ujian. Harta bisa dicari, tapi keturunan tidak bisa dibeli,” ucapnya lirih.



Duka dalam Kesederhanaan


Berbeda kondisi, namun serupa nasib juga dialami oleh pasangan miskin di Kecamatan Bangsri. Mereka hanya hidup dari hasil buruh serabutan, tinggal di rumah sederhana dari papan kayu.


“Seandainya kami punya anak, walau hidup susah, pasti ada penghibur hati. Tapi kami sudah menikah hampir 15 tahun, tetap saja belum dikasih,” ungkap Suryati (46), sambil menunduk menahan tangis.


Menurutnya, tanpa keturunan, kehidupan semakin terasa sepi. “Kalau sudah tua nanti siapa yang merawat kami? Mau berharap ke saudara, mereka juga sibuk dengan keluarganya masing-masing. Jadi kami pasrah, hanya bisa berdoa,” imbuhnya dengan suara bergetar.



Pandangan Warga


Warga Jepara melihat fenomena ini sebagai ironi kehidupan. Seorang tokoh masyarakat, Mulyono (58), menuturkan bahwa harta atau kemiskinan tidak menjadi jaminan kebahagiaan jika tidak ada penerus dalam keluarga.


“Banyak orang kaya tapi hatinya kosong karena tidak punya anak. Begitu pula yang miskin, kesusahannya terasa lengkap ketika tidak ada keturunan. Jadi pada akhirnya, semua manusia sama di hadapan ujian Tuhan,” ujar Mulyono.


Ia menambahkan, dalam budaya Jawa, keberadaan anak sering dianggap sebagai sumber doa dan kekuatan orang tua di masa tua. “Makanya, kalau tidak punya anak, rasa sedihnya tidak bisa dibayangkan. Itu menyayat hati,” pungkasnya.



Kehampaan yang Sama


Kaya dan miskin memang berbeda dalam cara menjalani hidup, namun keduanya bisa bertemu dalam satu titik: kesepian tanpa anak. Harta tidak mampu mengisi kekosongan itu, dan kemiskinan membuat rasa kehilangan semakin berat untuk ditanggung.


Pada akhirnya, perbedaan sosial hilang di hadapan satu kenyataan: bahwa setiap orang hanya bisa berharap pada ketentuan Tuhan, sekaligus belajar menerima kesunyian yang tidak semua orang kuat menjalaninya.


***

×
Berita Terbaru Update