Foto, ilustrasi. Karya: ET Hadi Saputra. |
Queensha.id - Jakarta,
Berita dari Amerika Serikat sering kali terasa seperti film Hollywood: mahal, megah, dan entah kenapa—diulang-ulang.
Kali ini judulnya: “No Kings.”
Jutaan orang, dari New York hingga California, turun ke jalan. Mereka berteriak, mengguncang 50 negara bagian. Mereka bukan sekadar menuntut kebijakan, tapi menggugat simbol kekuasaan: Presiden Donald Trump.
Lalu, dari gedung-gedung parlemen, terdengar suara sinis. Politisi Partai Republik menuding mereka sebagai “pembenci Amerika.”
Dan di sinilah, seharusnya, kita semua berhenti sejenak—untuk menyederhanakan pikiran dan menajamkan logika.
Amerika, Negeri yang Anti-Raja
Sejak awal berdirinya, Amerika lahir dari pemberontakan terhadap mahkota.
Nenek moyang bangsa itu menolak tunduk pada Raja Inggris. Mereka membangun negeri baru dengan satu janji: tidak akan ada raja lagi.
Maka, ketika rakyat melihat presidennya mulai bertingkah seperti raja dan merasa tak perlu diatur hukum, marah saat dikritik, dan menuntut kesetiaan mutlak yang naluri sejarah mereka bereaksi.
Mereka turun ke jalan bukan karena benci Amerika, tapi karena terlalu mencintainya.
Bendera mereka dikibarkan terbalik, bukan sebagai penghinaan, tapi sebagai tanda bahaya: rumah sedang kebakaran.
Itu bukan kebencian. Itu panggilan cinta yang terluka.
Gugatan atas Kesetiaan
Kemarahan rakyat Amerika bukanlah bentuk pengkhianatan, melainkan gugatan atas kesetiaan. Mereka marah karena cita-cita lama, karena (negara tanpa raja) sedang dikhianati. Mereka mencintai konstitusi mereka, dan cinta itu membuat mereka berani melawan.
Namun, Partai Republik memilih jalan singkat: melabeli lawan dengan stigma. “Mereka benci Amerika.” Padahal, yang mereka lakukan adalah politik pemendekan akal.
Sebab begitu seseorang dicap “pembenci negara,” apapun kritiknya akan mati sebelum sampai di telinga publik.
Blunder ini mahal. Republik mengorbankan prinsip kebebasan berpendapat demi satu figur. Lupa, bahwa kekuatan Amerika bukan pada sosok presiden, tapi pada Konstitusi yang dijaga bersama.
Ketika Anda menyebut jutaan warga yang protes damai sebagai “pembenci negara”, Anda sesungguhnya sedang menghina akal sehat dan memperlebar jurang polarisasi.
Cermin untuk Indonesia
Cerita Amerika ini adalah cermin yang terlalu jernih untuk dihindari. Kita sering melihat pola yang sama. Ketika mahasiswa turun ke jalan, ada yang cepat berbisik: “Mereka dibayar,” atau “Mereka ditunggangi.” Kritik dibungkam, bukan dengan argumen, tapi dengan kecurigaan.
Padahal, suara protes adalah tanda bahwa rakyat masih peduli. Protes keras bukan kebencian. Ia adalah bentuk cinta yang menuntut perbaikan.
Pelajaran dari Teriakan “No Kings”
Setidaknya, ada dua pelajaran penting dari Amerika yang patut kita renungkan:
-
Protes adalah bentuk kesetiaan.
Ketika rakyat berani bicara lantang, itu berarti mereka masih memiliki harapan terhadap negerinya. Mereka masih mau memperjuangkan janji-janji yang belum ditepati. -
Waspadai ‘Raja’ baru dalam sistem republik.
Di negara ini, jabatan tertinggi adalah presiden, bukan penguasa absolut.
Tidak boleh ada satu pun pemimpin yang kebal kritik. Begitu kritik dianggap kejahatan, saat itulah republik berubah menjadi istana tanpa mahkota.
Kita Semua Penjaga Republik
Kisah “No Kings” dari Amerika bukan sekadar cerita seberang laut. Ia adalah peringatan universal: kekuasaan tanpa kontrol selalu mencari mahkota.
Dan di republik ini (Indonesia) tidak boleh ada raja selain raja adat di tanahnya masing-masing. Kita semua adalah penjaga gawang demokrasi, pemelihara nyala konstitusi.
Karena cinta pada negeri bukan selalu berarti diam dan tunduk. Kadang, cinta itu justru bersuara lantang: “No Kings.”
***
Oleh: ET Hadi Saputra, Pengamat Hukum.
Queensha Jepara, 20 Oktober 2025