| Foto, ilustrasi tentang (Koperasi Merah Putih) karya: ET Hadi Saputra. |
Queensha.id – Jakarta,
Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP/KKMP) yang baru-baru ini diluncurkan pemerintah menjadi sorotan tajam di berbagai kalangan. Di atas kertas, program ini digadang sebagai tonggak baru penguatan ekonomi kerakyatan melalui koperasi modern berbasis desa. Namun, di balik gegap gempita peluncurannya, tersimpan kekhawatiran mendalam: apakah Koperasi Merah Putih benar-benar menjadi simbol pemberdayaan, atau justru wajah baru dari dominasi birokrasi dan BUMN atas ekonomi rakyat?
Presiden menyebut KDMP/KKMP sebagai program strategis nasional untuk memperkuat ekonomi desa. Namun, menurut pengamat koperasi dan aktivis ekonomi kerakyatan, ET Hadi Saputra, koperasi ini bukanlah koperasi dalam makna sejati seperti yang dicita-citakan Bung Hatta.
“KDMP/KKMP adalah makhluk hibrida hasil sinergi birokrasi, BUMN, dan bank pelat merah. Ia bukan tumbuh dari akar rumput, melainkan diturunkan dari atas dengan kekuatan regulasi dan dana besar,” tegas Hadi, dikutip dari unggahan di akun Twitternya, Selasa (14/10/2025)
Gurita Rantai Pasok Berwajah Pemberdayaan
Berdasarkan dokumen yang beredar, KDMP memiliki mandat untuk mengelola unit usaha strategis: penyediaan sembako, LPG 3 kg, pupuk, apotek, hingga logistik dan layanan keuangan digital (Laku Pandai).
Namun, di sisi lain, justru muncul kekhawatiran besar di lapangan.
“Ini seperti jihad melawan BUMDes,” tulis Hadi. “Koperasi Merah Putih datang dengan modal besar dan dukungan BUMN raksasa. Bagaimana BUMDes atau warung kecil bisa bersaing?”
Dengan pinjaman bank hingga Rp3 miliar per unit koperasi, serta jaminan pasokan dari Pertamina, Bulog, Pupuk Indonesia, dan Kimia Farma, kehadiran KDMP/KKMP dinilai berpotensi menghimpit UMKM dan BUMDes yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi desa.
Koperasi Negara vs Koperasi Rakyat
Kritik utama terhadap KDMP/KKMP bukan hanya soal modal besar dan dukungan BUMN, tetapi juga soal jiwa dan prinsip dasar koperasi.
Koperasi sejati lahir dari inisiatif anggota dan dikelola secara mandiri. Namun, KDMP dibentuk melalui Instruksi Presiden, diatur ketat oleh birokrasi, dan diwajibkan mendapat persetujuan dari kepala daerah untuk bergerak.
“Ini bukan koperasi mandiri, melainkan koperasi yang dikendalikan dari atas. Para pengurusnya tak lebih dari perpanjangan tangan birokrasi,” ujar Hadi.
Lebih jauh lagi, KDMP bahkan menimbulkan kekhawatiran soal tanggung jawab finansial. Pinjaman mereka dijamin oleh Dana Desa atau DAU/DBH, artinya jika gagal bayar, desa harus menanggung utang itu.
“Dana publik yang seharusnya untuk rakyat, kini bisa tersedot menjadi penyelamat koperasi yang gagal. Ini melanggar prinsip dasar kepemilikan anggota,” tegas Hadi.
Danakitri: Contoh Koperasi Mandiri yang Tak Perlu 'Diselamatkan' Negara
Hadi menegaskan, koperasi seperti Danakitri (Koperasi Alumni Unpad) adalah contoh koperasi sejati yang tumbuh dari keringat dan inisiatif anggota. Ia menilai, koperasi-koperasi mandiri semacam itu tidak perlu melebur ke dalam skema KDMP/KKMP.
“Kalau Anda sudah punya kapal yang kuat dan berlayar gagah, jangan ikat kapal Anda ke kapal tunda negara yang lambat dan penuh birokrasi,” tulisnya tajam.
Sebaliknya, ia menyarankan agar koperasi yang sudah mapan menjalin kemitraan setara dengan KDMP, bukan menjadi bagian darinya.
Koperasi Sejati adalah Milik Anggota, Bukan Milik Negara
Pada akhirnya, Hadi menutup opininya dengan refleksi tajam:
“Koperasi Merah Putih ini adalah cerminan intervensi negara yang terlalu dalam di tingkat mikro. Ini rekayasa pasar dari atas, bukan pertumbuhan organik dari bawah. Koperasi sejati lahir dari rakyat, bukan dari instruksi," pungkasnya.
Kritik ini bukan untuk menolak kemajuan, melainkan mengingatkan agar semangat koperasi Indonesia tidak kehilangan ruhnya hingga kemandirian, kebersamaan, dan gotong royong sejati.
***
Oleh: ET Hadi Saputra.
(Queensha Jepara, 14 Oktober 2025)