| Foto, Jendral Sudirman bersama rakyat dan pasukannya. |
Queensha.id - Sejarah,
Hutan-hutan lebat di pedalaman Jawa menjadi saksi bisu dari babak paling getir dalam sejarah Republik Indonesia. Antara tahun 1948 hingga 1949, ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II dan berhasil menawan Presiden Soekarno serta para pemimpin republik di Yogyakarta, bangsa ini nyaris kehilangan pusat kekuasaannya.
Namun, satu suara tetap bergema dari balik hutan: "Perjuangan belum selesai."
Suara itu milik Jenderal Besar Soedirman.
Dalam kondisi fisik yang sangat lemah karena paru-parunya rusak berat akibat TBC, sang panglima tidak memilih istirahat di ranjang rumah sakit. Ia memilih jalan sunyi untuk bergerilya bersama rakyat dan pasukannya.
“Jika prajurit makan gaplek, saya makan gaplek. Jika prajurit puasa, saya pun puasa,” demikian kalimat yang membekas dari sang Jenderal dalam berbagai catatan sejarah.
Ketika Hutan Menjadi Rumah dan Lapar Menjadi Kawan
Gerilya bukan sekadar strategi militer, melainkan perjalanan spiritual.
Di tengah kepungan pasukan Belanda, Jenderal Soedirman memimpin rombongan kecilnya menembus gunung, lembah, dan hutan dari Banaran hingga Pacitan.
Perbekalan hampir tak ada. Jalur logistik terputus. Pasukan hidup dari belas kasih rakyat desa, yang pada masa itu pun hidup dalam kemiskinan dan ancaman.
Beras menjadi kemewahan. Gaplek dan tiwul menjadi santapan utama. Bahkan, dalam banyak kesaksian, para prajurit harus menahan lapar berhari-hari sambil tetap berjaga di hutan. Namun, yang paling menyayat hati bukanlah rasa lapar, melainkan pemandangan sang panglima ditandu dalam keadaan lemah, tetap tegar memimpin tanpa mengeluh.
Pemimpin yang Tidak Kenyang Sendiri
Dalam buku “Jenderal Soedirman: Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia” karya Amrin Imran, disebutkan bahwa Soedirman menolak setiap tawaran perlakuan istimewa dari anak buahnya.
Ia menolak porsi makanan tambahan, menolak tidur lebih lama, dan menolak perlindungan khusus.
“Sakit bukan alasan untuk berhenti berjuang,” tulis Soedirman dalam salah satu suratnya kepada staf militer.
Semangat kesetaraan dan pengorbanan itulah yang membuat prajurit dan rakyat rela berjuang tanpa pamrih. Mereka melihat bahwa sang panglima bukan hanya memerintah dari tandu, tetapi hidup dalam penderitaan yang sama atau makan dari tangan yang sama, dan menanggung lapar yang sama.
Lapar yang Menyatukan Bangsa
Dalam Laporan dari Banaran karya T.B. Simatupang, digambarkan bagaimana rakyat desa sering kali membagi sisa makanan terakhir mereka untuk sang Jenderal dan pasukannya.
Tidak sedikit yang kemudian ditangkap atau dibunuh karena membantu TNI. Namun mereka tidak gentar. “Kalau panglima saja rela lapar demi Indonesia, apalagi kami rakyat kecil,” kata seorang warga dalam kesaksian Simatupang.
Kelaparan itu justru menumbuhkan kekuatan baru yakni ikatan spiritual antara TNI dan rakyat.
Rakyat tidak lagi melihat tentara sebagai kekuatan bersenjata semata, tetapi sebagai bagian dari mereka sendiri.
Dan di sanalah, di tengah derita dan hutan-hutan gelap, lahir nilai luhur TNI: Bersama Rakyat, TNI Kuat.
Api yang Tak Pernah Padam
Dalam buku Soedirman: Seorang Prajurit, Seorang Jenderal, Seorang Pemimpin (Dinas Sejarah TNI AD, 1990), digambarkan bahwa meski tubuhnya semakin melemah, mata Soedirman tetap menyala.
Ia bukan sekadar seorang jenderal, melainkan simbol jiwa bangsa yang menolak tunduk pada penindasan.
Perjalanan gerilya itu bukan sekadar kisah perang, tapi cerita tentang kepemimpinan yang sejati, bahwa kekuatan tidak selalu datang dari senjata, tetapi dari hati yang rela lapar demi kemerdekaan.
Hutan-hutan Jawa masih menyimpan gema langkah tandu Jenderal Soedirman.
Sebuah langkah yang perlahan, tetapi penuh makna. Sebuah langkah yang mengajarkan:
“Pemimpin sejati tidak diukur dari kenyangnya perut, tetapi dari besarnya jiwa.”
Sumber:
Tulisan ini dirangkum dari:
- Jenderal Soedirman: Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia (Amrin Imran, 2006)
- Laporan dari Banaran (T.B. Simatupang, 1960)
- Soedirman: Seorang Prajurit, Seorang Jenderal, Seorang Pemimpin (Tim Dinas Sejarah TNI AD, 1990)
- Arsip Nasional RI dan artikel sejarah di Historia.id
***
22 Oktober 2025
Laporan: Tim Queensha Jepara