Notification

×

Iklan

Iklan

Ada Sembilan Jenderal di Kemendagri: Apakah Polisi Regulasi?

Sabtu, 11 Oktober 2025 | 15.01 WIB Last Updated 2025-10-11T08:03:06Z

Foto, ilustrasi.

Queensha.id - Opini Publik, 


Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kini tampak semakin “berseragam.” Bukan hanya karena dipimpin oleh Jenderal (Purn) Tito Karnavian, tetapi juga karena di dalam struktur puncaknya kini berjejer sembilan jenderal aktif maupun purnawirawan. Ada tiga Wakil Menteri Dalam Negeri, salah satunya Komjen (Purn) Akhmad Wiyagus dan ditambah Sekjen, Irjen, para Staf Ahli, serta dua jenderal lain yang menempati posisi strategis di IPDN dan BNPP.


Kementerian yang seharusnya menjadi jantung pemerintahan sipil ini pun mulai tampak seperti command center—pusat komando yang rapi dan disiplin, tetapi kaku.


Pertanyaannya: Apakah formasi “polisional” ini efektif untuk mengurai benang kusut birokrasi dan regulasi daerah?



Centang Perenang dan Sistem Komando


Tugas utama Kemendagri bukanlah menjaga keamanan, melainkan menata tata kelola pemerintahan daerah. Di sinilah problem besar muncul: ribuan Peraturan Daerah (Perda) di seluruh Indonesia saling tumpang tindih, bertentangan dengan Undang-Undang, bahkan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi warga dan investor.


Masalah ini jelas bukan perkara “ketertiban umum.” Ini persoalan Hukum Administrasi Negara ranah yang menuntut kemampuan legislative drafting, perumusan kebijakan publik, dan pemahaman mendalam atas Hukum Otonomi Daerah.


Akhmad Wiyagus, penerima Hoegeng Award, dikenal karena ketegasannya dalam memberantas korupsi. Namun, memperbaiki sistem hukum tidak cukup dengan menindak; ia memerlukan keahlian mencipta serta membangun tatanan hukum baru yang sehat dan berkeadilan.


Kekhawatirannya jelas: jika pendekatan polisional mendominasi, maka “pembenahan regulasi” akan berubah menjadi “pendisiplinan daerah.” Perda yang salah bisa saja langsung dicabut, tapi akar persoalannya dibiarkan. Supremasi sipil pun bisa tergeser oleh sistem komando yang menekankan kepatuhan di atas pembinaan hukum.



Kepastian Hukum: Aman atau Adil?


Investor tidak takut pada preman, tetapi pada ketidakpastian regulasi. Mereka khawatir dengan Perda yang bisa berubah sewaktu-waktu, dengan interpretasi hukum yang tidak konsisten antar daerah.


Jika Kemendagri terlalu menekankan pendekatan keamanan, setiap gesekan kebijakan bisa dipersepsikan sebagai ancaman stabilitas. Akibatnya, solusi yang muncul adalah solusi “keamanan” dan bukan solusi “sistem.”


Investor mungkin akan merasa aman, tetapi “aman dari apa?” Apakah dari protes warga, atau dari risiko hukum yang membingungkan?


Negara yang menomorsatukan stabilitas tanpa membangun keadilan hukum pada dasarnya sedang menanam bom waktu birokrasi.

Kepastian hukum bukan sekadar jaminan aman. Ia adalah jaminan sistem yang adil, transparan, dan dapat diprediksi.



Nasib Tito dan Strategi Tiga Wamen


Banyak yang bertanya, apakah langkah ini sinyal bahwa Tito Karnavian akan diganti? Analisisnya justru sebaliknya. Penambahan tiga Wakil Menteri adalah bentuk dukungan politik, bukan tanda peringatan.


Presiden tampaknya ingin mempercepat kerja Kemendagri dan bukan menggantinya. Dengan tiga Wamendagri dari berbagai latar belakang, terutama dari sektor keamanan, pemerintah ingin memastikan program pusat berjalan tanpa hambatan, daerah tertib, dan gejolak politik bisa diredam.


Namun, tata kelola negara bukan operasi keamanan. Ini bukan tentang kecepatan dan kepatuhan semata, melainkan tentang kualitas kebijakan.


Tito dan Wiyagus punya integritas dan ketegasan, tapi reformasi hukum daerah membutuhkan sesuatu yang lebih: keberanian untuk menanam benih birokrasi yang sehat, bukan hanya menindak yang busuk.



Polisi Lalu Lintas Regulasi?


Jika pendekatan ini tidak diimbangi dengan penguatan kapasitas hukum dan tata kelola, Kemendagri bisa terjebak menjadi “Polisi Lalu Lintas Regulasi.” Sibuk menilang Perda yang salah, tapi tak sempat menanam sistem yang benar.


Indonesia butuh reformasi hukum daerah, bukan sekadar pengamanan daerah.


Karena pada akhirnya, pertanyaan paling mendasar adalah:
"Mana yang lebih berat, menindak korupsi, atau menanam benih birokrasi yang bebas korupsi"?

Dan, mana yang akan dipilih pemerintah?


***

Oleh: ET Hadi Saputra, Pengamat Hukum.

Queensha Jepara — 11 Oktober 2025.

×
Berita Terbaru Update