Notification

×

Iklan

Iklan

SOUND OF BOROBUDUR: Ketika Batu Bisa Bicara dan Menggema Suara Jiwa

Selasa, 21 Oktober 2025 | 18.03 WIB Last Updated 2025-10-21T11:05:30Z

Foto, ilustrasi yang menggambarkan SOUND OF BOROBUDUR: Ketika Batu Bisa Bicara dan Menggema Suara Jiwa, karya ET Hadi Saputra.


Queensha.id – Magelang,


SIAPA BILANG BATU ITU BISU?
Selama ini, banyak orang menganggap Candi Borobudur hanyalah tumpukan batu megah. Sebuah candi. Tempat wisata. Spot selfie turis mancanegara. Bahkan, bagi sebagian, sekadar simbol sejarah yang membisu di tengah sawah Magelang.


Padahal, anggapan itu keliru besar.
Borobudur bukan batu mati. Ia adalah perpustakaan beku atau arsip raksasa yang menyimpan pengetahuan peradaban tertinggi Nusantara abad ke-8. Lebih dari itu, di dalam setiap reliefnya, tersimpan suara jiwa bangsa ini. Sebuah orkestra yang diam selama 13 abad… menunggu untuk dibunyikan kembali.


Inilah Sound of Borobudur—gerakan yang menyadarkan kita bahwa nenek moyang bangsa ini telah memiliki peradaban musik yang mendunia, jauh sebelum kata “globalisasi” ditemukan.



GAGASAN GILA PARA PEWARIS SAH


Yang membuat ide ini istimewa, ia lahir bukan dari ruang rapat birokrasi, melainkan dari kegelisahan nurani. Dari seniman-seniman yang tak rela melihat warisan agung hanya menjadi latar foto Instagram.


Salah satunya adalah Trie Utami.
Penyanyi dan komposer brilian ini awalnya hanya ingin “pulang kampung” ke Borobudur, mencari makna spiritual. Namun di sana, ia menemukan sesuatu yang lebih dalam: instrumen musik purba di relief Karmawibhangga yakni relief yang tersembunyi di kaki candi.


Kecapi, harpa, suling, hingga gendang terpahat begitu detail. Bukan sekadar ornamen, melainkan dokumentasi musikal.


Dan pertanyaan pun lahir: Mengapa instrumen-instrumen ini tidak pernah dibunyikan?


Pertanyaan itu menjadi bara yang menyalakan gerakan besar. Trie pun mengajak dua maestro lain untuk ikut menggali “bunyi purba” Borobudur:


  • Dewa Budjana, gitaris lintas zaman yang mampu menerjemahkan harmoni kuno ke notasi modern.
  • Purwa Tjaraka, komposer ulung sekaligus penggerak Yayasan Padma Sada Svargantara, yang menjembatani riset ilmiah dengan ekspresi seni.


Bersama para akademisi seperti Prof. Melani Budianta, mereka tidak hanya menciptakan konser, tetapi menghidupkan kembali peradaban musik yang terkubur oleh waktu.


Mereka bukan sekadar musisi, melainkan arkeolog bunyi yang berani menantang dunia:


“Borobudur adalah episentrum musik dunia.”



HUKUM ADAT BUNYI DAN FILOSOFI KEMBAR


Lebih dari sekadar karya seni, Sound of Borobudur adalah gerakan budaya.
Ia bicara tentang Hukum Adat Nusantara, tentang kepemilikan komunal, tentang kesadaran bahwa warisan ini bukan milik individu namun tetapi milik bangsa.


Membunyikan kembali alat musik dari relief bukan sekadar proyek artistik. Itu adalah bentuk penghormatan terhadap roh budaya yang tertidur lama.


Borobudur sendiri berdiri di antara Sungai Progo dan Elo, dilingkari perbukitan yang dipercaya sebagai jelmaan Gunung Mahameru yang merupakan pusat kosmos dalam mitologi kuno. Dalam konteks ini, Sound of Borobudur bukan sekadar konser, tetapi ritual kebangsaan: usaha untuk mengembalikan harmoni alam dan manusia.


Relief Karmawibhangga menggambarkan hukum sebab-akibat.


Bagi para pewaris Borobudur, hukum itu kini diterjemahkan dalam bentuk bunyi:


“Jika peradaban yang harmonis adalah sebab, maka musik yang indah adalah akibatnya.”


Dan ketika harmoni itu dibunyikan kembali, kita seakan mendengar gema dari masa lalu, bahwa bangsa ini pernah, dan masih bisa, menjadi sumber keindahan dunia.



ORKES PURBA YANG HIDUP KEMBALI


Melalui riset mendalam, tim Sound of Borobudur berhasil merekonstruksi instrumen kuno seperti Gasona, Gasola, dan Solawa yang merupakan alat musik dawai yang tergambar jelas di relief. Dari batu-batu sunyi, mereka membangkitkan suara yang selama berabad-abad terpendam.


Kini, dari Magelang hingga panggung dunia, gaung itu mulai terdengar.
Bukan sekadar pertunjukan, tetapi sebuah panggilan identitas.


Gerakan ini bukan nostalgia masa lalu, melainkan peta jalan menuju masa depan budaya Indonesia.


Karena sejatinya, Sound of Borobudur bukan tentang musik aneh yang eksperimental.


Ia adalah suara DNA bangsa, yang dibunyikan ulang agar kita tak lupa siapa diri kita.


Jadi, setelah tahu semua ini—masihkah Anda menganggap Borobudur hanya tumpukan batu?


Atau Anda akan ikut merasakan gema agung peradaban yang sedang bangkit dari diamnya?


***

Oleh: ET Hadi Saputra.