Notification

×

Iklan

Iklan

Banyak Sedekah namun Banyak Hutang, Fenomena Sosial yang Mulai Mengkhawatirkan

Kamis, 27 November 2025 | 10.19 WIB Last Updated 2025-11-27T03:20:29Z

Foto, ilustrasi. Sedekah.

Queensha.id - Edukasi Sosial,



Fenomena “banyak sedekah namun justru banyak hutang” belakangan menjadi sorotan di berbagai kalangan. Di sejumlah daerah, termasuk Jepara, muncul kasus warga yang rajin memberi bantuan sosial dan tampil dermawan di ruang publik, namun di balik itu ternyata menumpuk utang yang tak mampu mereka bayar.


Kondisi ini tidak hanya mengundang keprihatinan, tetapi juga memunculkan pertanyaan besar: apakah tindakan mulia seperti sedekah justru bisa berubah menjadi beban?



Edukasi Sosial: Antara Kedermawanan dan Tanggung Jawab Finansial


Secara sosial, masyarakat Indonesia dikenal menjunjung tinggi nilai tolong-menolong. Namun, pakar sosial mengingatkan adanya kecenderungan sebagian orang ingin terlihat dermawan demi citra sosial atau tekanan lingkungan.


Fenomena ini bahkan memiliki istilah sosial: “charity pressure” merupakan tekanan untuk bersedekah agar dianggap baik, padahal kondisi ekonomi pribadi tidak memungkinkan.


Dalam beberapa kasus, sedekah dilakukan bukan dari kelebihan, tetapi dari dana pinjaman atau hutang lain yang semakin menjerat.



Pandangan Ulama Terkemuka di Indonesia


Sejumlah ulama besar di Indonesia menegaskan bahwa sedekah tidak boleh memunculkan mudarat bagi diri sendiri maupun keluarga.


Beberapa poin penting dari pandangan mereka:



1. Sedekah dianjurkan hanya dari harta yang halal dan lapang


Ulama menegaskan bahwa sedekah yang terbaik adalah dari harta yang “lebih”, bukan harta yang menjadi hak kebutuhan keluarga.



2. Tidak memaksakan diri sampai berhutang demi bersedekah


Dalam fikih, dianjurkan seseorang tidak melakukan amalan kebaikan yang justru menjadikan dirinya atau orang lain terbebani. Kaidah fikihnya jelas: “La dharara wa la dhirar” artinya jangan mencelakai diri, jangan mencelakai orang lain.



3. Citra bukan ukuran ibadah


Bersedekah untuk menjaga penilaian publik dianggap mengurangi nilai keikhlasan dan bahkan dapat menjerumuskan pada kesombongan sosial.



Pandangan Pengamat Sosial Jepara, Purnomo Wardoyo


Pengamat sosial asal Jepara, Purnomo Wardoyo, menilai fenomena ini sebagai “kedermawanan semu”.


Menurutnya,

“Ada masyarakat yang ingin tampak baik, tampak mapan, atau tampak dermawan di depan publik. Tapi di balik itu, mereka tidak siap secara ekonomi. Ini bukan lagi kebaikan, tapi tekanan sosial dan pencitraan," tuturnya.


Purnomo menambahkan bahwa budaya pamer kebaikan di media sosial juga memperkuat situasi ini.
Orang merasa perlu ditampilkan sebagai sosok penolong, namun kondisi finansialnya justru semakin rapuh.



Solusi: Bijak dalam Sedekah dan Tertib dalam Keuangan


Para ulama dan pengamat sosial sepakat bahwa sedekah tetap mulia, tetapi harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.


Berikut solusi yang diusulkan:



1. Dahulukan kewajiban daripada sedekah


Menafkahi keluarga, membayar hutang, dan memenuhi kebutuhan dasar adalah kewajiban primer.



2. Sedekah sesuai kemampuan


Tidak perlu mengikuti kemampuan orang lain. Sedikit tapi ikhlas lebih baik daripada besar tapi memaksakan.



3. Edukasi keuangan pribadi


Masyarakat perlu memahami pengelolaan uang sederhana:
– memisahkan kebutuhan dan keinginan
– membuat anggaran
– menghindari pinjaman konsumtif
– menabung sebelum memberi



4. Jaga niat, hindari gaung pencitraan


Sedekah tidak harus diumumkan ke publik. Nilai spiritualnya lebih tinggi jika dilakukan diam-diam.



5. Bangun budaya sosial yang sehat


Tokoh masyarakat dan lembaga keagamaan perlu mengedukasi bahwa sedekah bukan ajang pamer, melainkan ibadah yang harus proporsional dan tidak merugikan pelakunya.


***