Notification

×

Iklan

Iklan

Berbuat Baik tapi Jarang Salat: Bagaimana Pandangan Islam?

Sabtu, 15 November 2025 | 11.03 WIB Last Updated 2025-11-15T04:04:09Z

Foto, ilustrasi menolong dan berbuat baik.

Queensha.id - Edukasi Sosial,


Banyak orang merasa sudah cukup melakukan kebaikan kepada sesama, tetapi pada saat yang sama sering mengabaikan kewajiban salat. Fenomena ini berkembang luas di masyarakat, terutama di era ketika kesibukan dan gaya hidup modern membuat sebagian orang lebih fokus pada aktivitas sosial ketimbang ibadah wajib.


Namun, bagaimana sebenarnya pandangan Islam mengenai orang yang rajin berbuat baik tetapi jarang melakukan salat?



Ulama: Kebaikan Tidak Menggugurkan Kewajiban Salat


Para ulama menegaskan bahwa berbuat baik kepada sesama memang merupakan amal mulia yang sangat dihargai dalam ajaran Islam. Namun, kebaikan itu tidak dapat menggantikan kewajiban yang sudah ditetapkan Allah, terutama salat lima waktu.


Ustadz Abdul Somad, seorang ulama terkemuka di Indonesia menegaskan,
“Berbuat baik kepada manusia adalah amal yang sangat besar pahalanya, namun tidak ada amal yang bisa menggantikan salat. Salat adalah tiang agama. Jika tiangnya roboh, bangunan amal lainnya menjadi goyah. Islam memerintahkan keduanya: berbuat baik kepada sesama dan menjaga hubungan dengan Allah.”


Ia menambahkan bahwa salat bukan sekadar ritual, tetapi bentuk pengakuan seorang hamba kepada Tuhannya. Tanpa salat, hubungan spiritual seseorang menjadi lemah, meski ia aktif dalam kebaikan sosial.



Pandangan Islam: Dua Hubungan yang Tidak Boleh Dipisahkan


Dalam Islam, kehidupan seorang muslim dibangun di atas dua pilar:


  1. Hablu minallah — hubungan dengan Allah
  2. Hablu minannas — hubungan dengan manusia


Keduanya tidak bisa berdiri sendiri.


Berbuat baik kepada manusia tanpa salat membuat hubungan vertikal kepada Allah menjadi kosong. Sebaliknya, rajin salat tetapi tidak peduli pada sesama juga tidak mencerminkan akhlak Islam yang sempurna.


Al-Qur’an menegaskan bahwa salat adalah perintah langsung dari Allah, dan menjadi pembeda antara keimanan dan kelalaian.



Pengamat Sosial Jepara, Purnomo Wardoyo: Fenomena “Merasa Baik” Semakin Umum


Pengamat Sosial Jepara, Purnomo Wardoyo, melihat fenomena ini sebagai bagian dari perubahan pola pikir masyarakat modern.


Menurutnya, banyak orang merasa cukup menjadi “orang baik” tanpa ibadah yang tertata.


“Saat ini, banyak orang merasa sudah menjadi pribadi baik hanya karena suka membantu atau bersikap ramah. Namun mereka lupa bahwa dalam Islam, kebaikan sosial tidak berdiri sendiri. Ada kewajiban ibadah yang menjadi fondasi moral,” ujar Purnomo.


Ia menilai bahwa masyarakat sering terjebak dalam pola pikir “kebaikan sosial lebih penting daripada ibadah”.


“Masyarakat Jepara juga banyak yang berpikir bahwa salat bisa diganti dengan amal. Padahal dari sisi sosial, orang yang tidak punya kedisiplinan ibadah biasanya rentan kehilangan arah ketika menghadapi tekanan hidup,” tambahnya.


Menurut Purnomo, menjaga salat bukan hanya soal agama, tetapi juga berpengaruh pada keseimbangan mental dan emosional seseorang.



Ulama Mengadakan Kajian Khusus untuk Menjawab Kebingungan Umat


Melihat fenomena yang semakin meluas, para ulama terkemuka di Indonesia mengadakan berbagai kajian dan majelis ilmu yang membahas pentingnya keseimbangan antara kebaikan sosial dan ketaatan ibadah.


Dalam salah satu kajiannya, ulama menyampaikan:


“Islam tidak memisahkan antara ibadah dan akhlak. Keduanya seperti dua sayap pada burung. Tanpa salah satu, ia tidak bisa terbang. Kebaikan tanpa salat membuat iman tidak bertumpu, sedangkan salat tanpa akhlak membuat manusia kehilangan empati.”


Kajian tersebut mendapat respons positif dari jamaah, terutama kaum muda yang merasa bingung antara nilai “humanity” modern dengan kewajiban ibadah yang tidak boleh ditinggalkan.



Kebaikan Harus Sejalan dengan Ibadah


Islam mengajarkan bahwa kebaikan sosial dan ketaatan ibadah adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Berbuat baik adalah ibadah, tetapi salat adalah kewajiban utama yang tidak boleh ditinggalkan dalam kondisi apa pun.


Masyarakat diimbau untuk tidak hanya menjadi “baik di mata manusia”, tetapi juga “taat di hadapan Allah”.


***