| Foto, tangkap layar dari unggahan akun Facebook di Jepara. |
Queensha.id – Jepara,
Sebuah unggahan sederhana di media sosial kembali membuat warga Jepara berhenti sejenak untuk merenung. Dalam postingan di grup Info Seputar Bangsri, akun @Klowor Mkm Nw menawarkan katak hidup seharga Rp60.000 per kilogram, dan katak yang sudah dikupas seharga Rp65.000 per kilogram. Yang membuat banyak orang tercengang, harga tersebut kini lebih mahal daripada harga daging ayam.
Fenomena kecil di Desa Tengguli, Kecamatan Bangsri, ini ibarat mengetuk pintu hati kita perlahan. Seolah mengingatkan bahwa hidup selalu penuh kejutan, bahkan dari makhluk yang selama ini mungkin kita abaikan.
Rezeki Kadang Datang dari Makhluk yang Tak Pernah Kita Perhitungkan
Katak merupakan hewan kecil yang hidup di tepi sungai dan sering disebut “penjaga malam”. Tiba-tiba hadir di meja jual beli.
Bukan sebagai gangguan, bukan pula sebagai makhluk yang ditakuti, melainkan sebagai sumber nafkah bagi sebagian warga.
Bagi sang pengepul, mungkin katak adalah jalan untuk membeli beras, membayar sekolah anak, atau menutup kebutuhan yang tak pernah berkurang. Dan bukankah setiap manusia berhak mencari rezeki dari arah mana pun, selama ia tidak menyakiti?
Di Tengah Larangan Agama, Realita Tetap Berjalan
Mayoritas ulama berpendapat bahwa katak termasuk hewan yang haram dikonsumsi dan dilarang dibunuh, sehingga banyak masyarakat yang memilih menjauhinya sebagai bentuk penghormatan terhadap ajaran agama.
Namun kehidupan nyata jauh lebih kompleks. Ada pedagang yang sekadar ingin bekerja. Ada pembeli yang memilih tanpa banyak bertanya. Ada warga yang hanya ingin tahu.
Pada akhirnya, semuanya menjadi mozaik besar dari kehidupan kita sehari-hari.
Katak dan Ekosistem: Alam yang Tak Boleh Dilupakan
Lebih dari sekadar komoditas, katak adalah bagian penting dari keseimbangan alam. Ia memakan nyamuk dan serangga, mengurangi hama, dan menjadi indikator kesehatan lingkungan.
Penangkapan katak secara besar-besaran berisiko membuat alam kehilangan salah satu nadinya. Dan seperti biasa, manusia akan merasakan akibatnya paling akhir ketika segalanya sudah terlambat.
Pandangan Pengamat Sosial Jepara: Fenomena Ekonomi dan Survival Warga
Pengamat sosial Jepara, Purnomo Wardoyo, melihat fenomena ini sebagai gambaran jelas kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang sedang berjuang.
“Ketika kebutuhan hidup meningkat sementara peluang kerja tetap sempit, masyarakat mulai mencari sumber rezeki dari apa pun yang ada di sekitar mereka,” ujar Purnomo, Sabtu (22/11/2025).
Menurutnya, harga katak yang lebih tinggi dari ayam bukan hanya soal tren pasar, tetapi bentuk adaptasi masyarakat desa terhadap tekanan ekonomi.
“Ini bukan soal kataknya. Ini soal manusia dan caranya bertahan hidup. Mereka mengelola apa yang alam berikan,” tambahnya.
Namun ia mengingatkan risiko ekologis jika penangkapan dilakukan secara masif.
“Pemerintah desa dan kecamatan harus hadir. Bukan melarang, tetapi mengatur agar tidak terjadi eksploitasi berlebihan,” jelasnya.
Dari sisi sosial-keagamaan, Purnomo menilai perbedaan pandangan masyarakat terhadap konsumsi katak seharusnya tetap dijaga agar tidak memicu gesekan.
“Ada yang mengikuti pandangan agama, ada yang melihat dari sisi ekonomi. Kita harus menjaga agar perbedaan itu tetap adem,” tutupnya.
Bagaimana dari Sisi Hukum? Apakah Jual Katak Termasuk Pelanggaran?
Untuk menjawab kekhawatiran warga, berikut penjelasan hukumnya:
- Tidak ada regulasi di Indonesia yang secara khusus melarang jual beli katak sawah, selama hewan tersebut bukan kategori dilindungi.
- Katak sawah (Fejervarya cancrivora) umumnya bukan satwa dilindungi menurut Permen LHK No. 106/2018.
- Jual beli dapat dianggap melanggar hukum hanya jika:
- Katak termasuk satwa dilindungi,
- Penangkapannya merusak lingkungan,
- Atau terjadi pelanggaran kesehatan pangan (jika dijual untuk konsumsi tanpa standar kebersihan).
Dengan demikian, jualan katak sawah seperti di Tengguli Bangsri tidak otomatis melanggar hukum, selama tidak mengarah pada eksploitasi berlebihan dan tetap mengikuti aturan kebersihan pangan.
Sebuah Renungan
Fenomena harga katak yang melampaui ayam ini bukan sekadar informasi pasar.
Ini adalah ajakan untuk merenung:
- Bahwa nilai bisa berpindah tanpa kita sangka.
- Bahwa rezeki bisa muncul dari makhluk yang sederhana.
- Bahwa manusia bertahan hidup dengan caranya masing-masing.
- Bahwa alam harus tetap dijaga meski menjadi sumber nafkah.
Kita boleh tidak memakannya, kita boleh heran, tetapi marilah kita melihatnya dengan hati yang jernih.
Di balik setiap komoditas yang tampak sepele, ada cerita manusia, ada cerita alam dan ada pesan ilahi tentang rezeki yang terbagi pada siapa pun yang berusaha.
***
Sumber: Facebook Abdul Rosyid.
Tim Redaksi.