| Foto, ilustrasi. Seorang pasien menunggu antrian di Puskesmas. |
Queensha.id - Jepara,
Keluhan terhadap layanan kesehatan kembali mencuat di Kabupaten Jepara. Seorang pasien berinisial R, warga Desa Mambak, Kecamatan Pakis Aji, mengaku mengalami pelayanan yang mengecewakan saat mendatangi Puskesmas Mlonggo pada Jum'at (12/12/2025) untuk mendapatkan penanganan medis yang bersifat mendesak.
R datang ke puskesmas dengan kondisi patah gigi, di mana ujung patahan yang tajam melukai lidah dan menyebabkan rasa nyeri hebat. Kondisi tersebut membuatnya kesulitan makan dan berbicara. Dalam keadaan sakit, R mengambil nomor antrean A-94 di loket pendaftaran sekitar pukul 08.30 WIB.
Namun, setelah menunggu kurang lebih 30 menit, petugas loket justru menyampaikan bahwa kuota pasien Poli Gigi telah habis. Penjelasan tersebut mengejutkan R, terlebih saat diketahui bahwa kuota layanan Poli Gigi pada hari Jumat hanya dibatasi 15 pasien, sementara pada hari biasa maksimal 20 pasien.
Ironisnya, informasi mengenai pembatasan kuota itu tidak disampaikan sejak awal pendaftaran.
“Saya sudah sakit, sudah menunggu lama, tapi tiba-tiba dibilang kuotanya habis. Kalau dari awal dikasih tahu, saya tidak perlu buang waktu dan menahan sakit,” ujar R dengan nada kecewa, Jum'at (12/12).
Aturan Tanpa Penjelasan
Merasa dirugikan, R mempertanyakan dasar aturan pembatasan kuota tersebut. Namun jawaban yang diterima justru terkesan normatif.
“Petugas hanya bilang, ‘itu aturan di sini, Pak’. Tidak ada penjelasan apa pun,” tuturnya.
Tidak puas, R meminta bertemu dengan humas atau kepala Puskesmas. Namun ia justru diarahkan ke bagian keuangan dan bertemu dengan staf tata usaha, Ibu Tiyas. Setelah melalui diskusi, barulah R diberikan solusi agar tetap bisa diperiksa di Poli Gigi, dengan syarat mengisi formulir keluhan pelayanan.
Meski akhirnya mendapat penanganan, pengalaman tersebut meninggalkan sejumlah pertanyaan mendasar tentang sistem pelayanan kesehatan dasar.
Kuota vs Hak Pasien
Kasus ini memunculkan persoalan serius:
Apakah fasilitas kesehatan tingkat pertama boleh membatasi jumlah pasien sakit?
Apa dasar hukum kebijakan kuota tersebut?
Dan yang paling krusial, bagaimana nasib pasien yang membutuhkan penanganan segera ketika kuota dinyatakan penuh?
Jika aturan administratif diterapkan secara kaku tanpa ruang diskresi, pasien berisiko dipulangkan dalam kondisi masih sakit, sesuatu yang bertentangan dengan prinsip pelayanan kesehatan yang berorientasi pada keselamatan dan kemanusiaan.
Dinkes Jepara Diminta Turun Tangan
Atas kejadian ini, Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara didesak untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pembatasan kuota di fasilitas kesehatan, khususnya puskesmas yang menjadi garda terdepan layanan masyarakat.
Evaluasi tersebut setidaknya harus mencakup:
- Transparansi informasi kuota kepada pasien sejak awal pendaftaran
- Pengecualian bagi pasien dengan kondisi nyeri, darurat, atau berisiko
- Jaminan tidak ada pasien yang pulang tanpa penanganan medis hanya karena alasan kuota
Pelayanan kesehatan bukan sekadar soal angka dan administrasi. Ia adalah hak dasar warga negara yang wajib dijamin negara melalui fasilitas kesehatan publik.
Kasus yang dialami R menjadi pengingat bahwa tidak semua pasien berani bersuara. Banyak yang memilih pulang dalam diam, menahan sakit, dan menerima keadaan. Di sinilah puskesmas seharusnya hadir sebagai solusi, bukan justru menjadi sumber kekecewaan.
***
Sumber: AR.
Tim Redaksi.