Queensha.id - Jepara,
Publik digemparkan oleh sebuah pemberitaan investigatif dari salah satu media yang menuding adanya praktik penimbunan solar subsidi di Desa Kedungmalang, Kecamatan Kedung, Jepara. Namun setelah dilakukan penelusuran lanjutan dan meminta keterangan langsung dari pihak yang dituduh, banyak informasi dalam laporan tersebut dinilai tidak akurat, tidak berimbang, dan berpotensi menyesatkan publik.
Pihak keluarga yang namanya dicatut dalam pemberitaan itu menyatakan bahwa aktivitas yang diberitakan bukanlah penimbunan, melainkan pemanfaatan jeriken kosong yang disimpan di halaman rumah, sebagaimana lazim dilakukan keluarga nelayan di pesisir.
1. Tuduhan Penimbunan: Keluarga Sampaikan Fakta Berbeda
Keluarga pria berinisial S yang disebut sebagai pelaku penimbunan menegaskan bahwa solar yang berada di rumah tersebut bukan untuk disimpan dalam jumlah besar, apalagi untuk tujuan komersial.
“Yang ada di rumah itu jeriken kosong, bukan solar yang ditimbun. Kalau pun ada sedikit solar, itu hanya stok untuk kebutuhan operasional perahu nelayan keluarga,” jelas salah satu anggota keluarga saat dimintai keterangan.
Menurut mereka, angka-angka yang disebutkan dalam pemberitaan dan bahkan terkait harga jual yang tidak pernah disampaikan dan tidak sesuai kenyataan di lapangan.
2. Kesaksian Kakek Dinilai Dipelintir: Tidak Mengerti Konteks, Jawaban Mengambang
Keluarga juga menyesalkan cara media tersebut mengutip pernyataan seorang lelaki tua yang merupakan mertua S.
Pihak keluarga menyebut bahwa kakek tersebut:
1. Sudah lanjut usia,
2. Memiliki keterbatasan pendengaran,
3. Mudah bingung ketika ditanya secara mendadak.
“Kakek itu orangnya sering salah nangkap pertanyaan, apalagi kalau didatangi orang tak dikenal. Banyak jawaban beliau yang tidak mewakili kondisi sebenarnya,” ujar pihak keluarga.
Mereka menilai kutipan wawancara sangat berpotensi disalahartikan, apalagi dengan narasi yang digiring untuk membentuk kesan seolah-olah rumah tersebut adalah gudang ilegal.
3. Tidak Ada Bukti Visual Penimbunan
Dalam pemberitaan yang beredar, media hanya menyebut “puluhan jeriken tersusun rapi” tanpa menunjukkan bukti visual berupa:
1. Dokumentasi solar dalam jumlah besar,
2. Bukti transaksi,
3. Bukti aliran barang ke industri,
4. Bukti keterlibatan pengawas SPDN.
Padahal, jeriken kosong adalah peralatan umum yang dimiliki hampir semua keluarga nelayan di Kedungmalang untuk kegiatan harian, termasuk membawa air, oli, atau solar untuk melaut.
“Kalau jeriken dianggap bukti penimbunan, hampir semua rumah di sini bisa dituduh,” ujar seorang tokoh masyarakat Kedungmalang.
4. Nama “J” Dibantah: Tidak Ada Hubungan, Tidak Ada Keterlibatan
Salah satu poin paling serius dari pemberitaan tersebut adalah pencantuman nama J, seorang pengawas SPDN.
Pihak keluarga memastikan S tidak memiliki hubungan khusus maupun akses istimewa kepada pengawas manapun.
“Tidak benar ada permainan kuota, tidak benar ada istilah ‘pengawas bayangan’. Itu hanya asumsi yang digoreng,” jelas mereka.
5. Kelangkaan Solar Pagi Hari Bukan Akibat Satu Rumah
Nelayan di Kedungmalang menyampaikan bahwa kelangkaan solar pagi hari terjadi secara umum di banyak wilayah pesisir, terutama:
1. Saat gelombang tinggi,
2. Ketika permintaan naik mendadak,
3. Ketika SPDN kesulitan distribusi dari Pertamina.
Kelangkaan ini tidak bisa dibebankan kepada satu keluarga, apalagi tanpa bukti transaksi besar-besaran.
“Kalau benar ada pengambilan besar malam hari, nelayan pasti tahu. Ini kampung, bukan kota besar,” ujar salah satu nelayan setempat.
6. Tuduhan Penjualan ke Industri Dinilai Mengada-ada
Narasi yang menyebut solar subsidi “diambil perusahaan transportir untuk industri” juga dibantah keras.
Keluarga dan warga menegaskan:
1. Tidak ada truk,
2. Tidak ada kendaraan pengangkut industri,
3. Tidak ada aktivitas bongkar muat di lokasi,
4. Tidak ada bukti solar dalam volume besar.
“Mana fotonya? Mana videonya? Kalau memang ada truk industri keluar masuk gang sempit sini, seluruh warga pasti lihat,” ujar warga.
7. Menagih Etika Jurnalistik: Tidak Ada Konfirmasi, Tidak Ada Hak Jawab
Poin paling disayangkan adalah media tersebut datang, memotret, lalu menulis tanpa memberikan hak jawab kepada pihak yang dituduh.
Padahal, dalam Kode Etik Jurnalistik, wartawan wajib:
1. Melakukan klarifikasi sebelum publikasi,
2. Menyajikan berita secara berimbang,
3. Tidak menghakimi,
4. Serta menghindari prasangka.
“Kami tidak pernah diberi kesempatan berbicara. Tahu-tahu nama keluarga kami sudah dicatut dalam berita,” kata keluarga, Selasa (2/12/2025).
8. Warga Minta Media Tidak Menggoreng Situasi Desa
Warga Kedungmalang berharap pemberitaan yang tidak akurat tidak memperkeruh suasana desa yang selama ini aman dan damai.
Tokoh masyarakat setempat menambahkan,
“Kalau ada temuan, silakan lapor ke aparat, bukan membuat pemberitaan yang memojokkan tanpa bukti. Jangan sampai nelayan kecil jadi korban framing," tegasnya.
Masyarakat Harap Informasi Disajikan Secara Bertanggung Jawab
Keluarga S menegaskan siap memberikan keterangan kepada aparat bila diperlukan, namun menolak keras tuduhan bahwa mereka bagian dari jaringan penimbunan atau penyelewengan solar.
Masyarakat Kedungmalang berharap media tetap memegang prinsip dasar jurnalisme: akurasi, verifikasi, dan keberimbangan, agar berita tidak menjadi alat kriminalisasi warga kecil.
***
Wartawan: Aris Bayu Sasongko.