Queensha.id - Jakarta,
Jagat media sosial kembali diguncang oleh kabar dugaan pemborosan anggaran pengadaan laptop untuk pendidikan yang menyeret angka fantastis: Rp9,9 triliun. Dalam dokumen yang tersebar luas dan diperkuat oleh temuan Kejaksaan Agung, harga satu unit laptop disebut mencapai Rp10 juta. Padahal, berdasarkan riset pasar, harga wajar perangkat sejenis hanya berkisar Rp1,7 hingga Rp2,6 juta.
Dalam sebuah unggahan viral yang disebut berasal dari akun @lambe_turah, muncul sindiran tajam yang menggambarkan pola ironi dalam kasus korupsi di negeri ini. “Untung bersih potong ini anu inu ini 5 juta x 100 laptop aja dah 500 juta. Kalau 1000 laptop tinggal dikali aja... Pahit-pahitnya masuk penjara, keluar duit masih sisa, bisa buat muter nyaleg…” tulis akun tersebut dalam postingan yang diunggah Kamis malam.
Ketimpangan Data dan Logika
Dalam unggahan tersebut juga terpampang wajah mantan Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, dengan latar sejumlah anak berseragam SD yang tampak lusuh dan penuh tanda tanya. Visual ini seolah menjadi tamparan keras: untuk siapa anggaran sebesar itu sebenarnya diperuntukkan?
Angka Rp10 juta per unit laptop menimbulkan pertanyaan besar di tengah publik. Beberapa vendor lokal yang dihubungi oleh tim investigasi menyebut bahwa dengan harga Rp10 juta, instansi pendidikan seharusnya bisa mendapatkan laptop spek tinggi, bahkan kelas bisnis.
Namun yang terjadi di lapangan berbeda. Banyak sekolah masih mengeluhkan keterbatasan perangkat, distribusi yang tak merata, hingga kondisi barang yang tak sesuai ekspektasi.
Daur Ulang Korupsi
Kutipan satir dari akun @lambe_turah mengungkap realitas pahit: korupsi seolah menjadi lingkaran setan. Dari proyek ke proyek, dari masa tahanan ke panggung pemilu. Ada semacam keyakinan bahwa hukuman atas korupsi hanya menjadi “biaya operasional”, bukan efek jera.
“Ketangkep lagi, masuk, keluar, gitu terus sampai Dora the Explorer nikahan sama Spongebob,” tulis akun tersebut dengan gaya sindiran yang getir, menggambarkan betapa panjangnya drama ironi ini bisa berlangsung.
Suara Publik: Pendidikan Bukan Dagangan
Kemarahan publik membuncah, bukan sekadar karena uang yang "menguap", tetapi karena sektor yang dirugikan adalah pendidikan dan pondasi masa depan bangsa. Ketika dana pendidikan menjadi ladang bancakan, maka masa depan anak-anak negeri yang seharusnya menjadi prioritas utama hanya menjadi angka di atas kertas.
Sejumlah aktivis dan pakar kebijakan publik menyerukan audit menyeluruh dan transparansi anggaran di sektor pendidikan. Mereka juga mendesak penegakan hukum tanpa tebang pilih dan pembentukan sistem pengadaan digital yang terbuka untuk publik.
Jika benar dana Rp9,9 triliun hanya menghasilkan perangkat yang sejatinya bisa didapat dengan sepertiga harga, maka publik berhak tahu ke mana sisanya mengalir. Sebab dalam dunia yang semakin transparan, skandal yang terus berulang bukan lagi sekadar kealpaan sistem, tapi bisa jadi itu kesengajaan yang sudah diwariskan turun-temurun.
***
Sumber: MLT.