Queensha.id - Jepara,
Bulan Besar dalam penanggalan Hijriah memang dikenal sebagai momen sakral dan penuh sukacita bagi sebagian masyarakat. Namun tidak demikian halnya bagi banyak keluarga kecil di wilayah Kabupaten Jepara. Alih-alih bahagia, bulan ini justru membuat kepala pening, dompet kering, dan hati was-was.
"Perpisahan sekolah marai sirah ngelu bagi yang tidak mampu. Ditambah wayah sasi Besar usume wong duwegawe. Bank plecit wes makno guya-guyu, target ibu-ibu," tulis akun Facebook @Yowesiki, warga Desa di Kecamatan Mlonggo. Ungkapan satir ini bukan tanpa sebab—banyak warga dihadapkan pada tekanan ekonomi berlapis: biaya perpisahan anak sekolah, undangan hajatan, dan lilitan utang dari bank plecit.
Sasi Besar: Simbol Sukacita, Jadi Beban Sosial
Bulan Besar, bulan ke-12 dalam kalender Hijriah setelah Idul Adha, adalah waktu yang oleh masyarakat Jawa identik dengan musim hajatan: pernikahan, sunatan, dan syukuran. Tradisi "balas uleman" (menghadiri hajatan karena pernah diundang sebelumnya) menjadi beban moral dan sosial tersendiri, apalagi jika tamu harus memberi amplop.
"Kalau dulu diundang, sekarang wajib datang. Masa nggak bawa sumbangan? Itu gengsinya orang kampung," ungkap Suparman, warga Bangsri yang bekerja sebagai tukang ukir mebel skala rumahan.
Bank Plecit: Solusi Instan, Jeratan Berkepanjangan
Ketika amplop harus tetap diisi dan uang sekolah harus dibayar, banyak ibu rumah tangga terpaksa meminjam ke "bank plecit" lembaga keuangan informal dengan bunga tinggi dan penagih yang agresif.
"Setiap pagi jam 7 sudah ditagih. Kalau telat sehari, langsung dimaki-maki," keluh seorang ibu di Kelet yang minta namanya disamarkan.
Fenomena bank plecit ini kian mengkhawatirkan di wilayah Jepara bagian utara seperti Mlonggo, Bangsri, Kelet, dan Keling. Tidak seperti kecamatan Pecangaan, Mayong, Nalumsari, atau Batealit yang memiliki banyak pabrik besar penyerap tenaga kerja, wilayah utara lebih bergantung pada sektor informal seperti pertukangan mebel kecil yang kini sedang lesu akibat menurunnya permintaan ekspor.
Ketimpangan Ekonomi: Akar dari Krisis
“Wilayah kami nggak ada pabrik, yang ada cuma bengkel mebel rumahan. Kalau pasar luar negeri lesu, ya kami ikut puasa,” ujar Suwito, pengusaha mebel kecil dari Keling.
Hal ini menimbulkan kesenjangan ekonomi yang tajam antarwilayah di Jepara. Warga utara lebih rentan terjerat utang karena tak ada lapangan kerja besar dan tetap.
Solusi yang Bisa Didorong
Beberapa solusi yang bisa dipertimbangkan oleh pemerintah daerah maupun masyarakat:
1. Edukasi Literasi Keuangan dan Bahaya Bank Plecit: Melibatkan tokoh masyarakat dan lembaga desa untuk mensosialisasikan dampak negatif pinjaman bunga tinggi.
2. Perluasan Lapangan Kerja Formal: Pemerintah daerah bisa mengupayakan pendirian unit-unit produksi mebel skala koperasi atau pelatihan kerja di bidang lain untuk mengurangi ketergantungan warga terhadap sektor informal.
3. Regulasi Tradisi Sosial: Desa bisa membuat kesepakatan sosial tentang batas nominal amplop hajatan atau bahkan meminimalisir hajatan besar-besaran.
4. Dana Sosial dan Bantuan Pendidikan: Memberikan subsidi atau dana pendidikan kepada keluarga tidak mampu agar biaya perpisahan atau kegiatan sekolah tidak membebani orang tua.
Apa yang sedang terjadi di wilayah Jepara bagian utara bukan sekadar soal bulan besar atau musim hajatan, tapi cerminan dari krisis struktural yang perlu ditangani bersama. Tradisi dan budaya tetap penting dijaga, namun jangan sampai merampas ketenangan dan kemanusiaan warganya.
***