Queensha.id - Semarang,
Malam Selasa yang seharusnya tenang berubah menjadi mencekam bagi IDK, seorang ibu di Kecamatan Tembalang, Kota Semarang. Sekitar pukul 21.00 WIB, ia menerima pesan mengejutkan dari nomor WhatsApp anaknya, SA (20), yang mengabarkan dirinya telah diculik dan hanya akan dilepaskan jika uang tebusan sebesar Rp 80 juta segera ditransfer. Disertai ancaman penyiksaan, pesan itu membuat IDK panik bukan kepalang.
Tak menunggu lama, IDK langsung melaporkan dugaan penculikan tersebut ke Polsek Tembalang pada pukul 21.55 WIB. Polisi pun segera bergerak cepat. Subdit 3 Jatanras Ditreskrimum Polda Jateng bekerja sama dengan Polrestabes Semarang melakukan pelacakan lokasi SA.
Tak butuh waktu lama, sepeda motor milik SA ditemukan terparkir di halaman sebuah hotel di kawasan Tembalang. Penelusuran lebih lanjut mengarah pada satu kamar — nomor 306, yang ternyata telah dihuni oleh SA sejak siang hari, tepatnya pukul 13.35 WIB. Namun temuan ini justru menambah tanda tanya besar: SA ternyata check-in seorang diri.
Dalam konferensi pers yang digelar Kamis (29/5), Dirreskrimum Polda Jateng, Kombes Pol Dwi Subagio menjelaskan bahwa SA bukan korban penculikan fisik. Ia menjadi korban manipulasi oleh pelaku kejahatan siber yang mengaku sebagai aparat penegak hukum.
“Pelaku menelpon korban dan menuduhnya terlibat dalam kasus pencucian uang. Dengan dalih untuk ‘penyelidikan’, korban diarahkan menjauh dari rumah dan menginap di hotel agar komunikasi bisa lebih ‘aman’,” terang Kombes Dwi.
Ketakutan dan panik, SA menuruti permintaan itu tanpa curiga. Saat ia telah mengisolasi diri di hotel, pelaku yang beroperasi dari lokasi berbeda membajak nomor WhatsApp milik SA. Nomor tersebut kemudian digunakan untuk menghubungi sang ibu, IDK, dengan narasi palsu bahwa anaknya sedang diculik dan membutuhkan uang tebusan.
Kejahatan Siber Kelas Baru
Meski tanpa kekerasan fisik, kasus ini menyoroti bentuk baru kejahatan siber yang canggih dan membahayakan. Korban tidak hanya dimanipulasi secara psikologis, tetapi juga dijauhkan dari sistem pendukungnya agar lebih mudah dikendalikan.
“Korban mengalami intimidasi dan manipulasi psikologis. Ini masuk kategori penipuan online dengan pelanggaran akses ilegal terhadap perangkat elektronik korban,” tambah Kombes Dwi.
Sementara itu, Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto, mengimbau masyarakat agar tidak mudah percaya pada panggilan dari orang yang mengaku aparat, apalagi dengan narasi hukum yang tidak masuk akal.
“Kami minta masyarakat untuk tidak panik. Segera lakukan verifikasi ke kantor polisi terdekat apabila mendapat ancaman seperti itu,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa modus penipuan kini semakin halus dan kompleks. “Penjahat siber terus mengembangkan strategi. Waspada dan berpikir kritis adalah kunci agar tidak menjadi korban berikutnya, " imbuhnya.
Pelaku Masih Diburu
Hingga kini, kepolisian masih menelusuri jejak pelaku yang diduga menggunakan metode rekayasa sosial (social engineering) dan perangkat peretas untuk membajak akun WhatsApp korban.
Kasus SA membuka mata kita bahwa penculikan di era digital bisa terjadi tanpa rantai dan borgol. Cukup dengan satu panggilan menyesatkan dan rasa takut yang ditanamkan, siapa pun bisa jadi tawanan di dalam pikirannya sendiri.
***
Sumber: Hms.