Notification

×

Iklan

Iklan

Negeri yang Terkepung Uang: Ketika Jabatan dan Moralitas Dijual Murah

Rabu, 28 Mei 2025 | 10.28 WIB Last Updated 2025-05-28T03:29:09Z
Foto, ilustrasi seorang pejabat menerima amplop.


Queensha.id - Jakarta,

Di negeri yang kaya akan sumber daya alam, senyum ramah warganya, dan semangat gotong royong yang membanggakan, terselip keluhan mendalam yang mengendap di hati rakyat: mengapa semua hal terasa mahal, bahkan untuk sekadar menjadi pemimpin?

Dari kursi kepala desa hingga singgasana presiden, nyaris semua jenjang jabatan di Indonesia tampaknya harus ditebus dengan biaya besar. Tak jarang, jalan menuju kekuasaan diwarnai praktik tak terpuji: sogokan, mahar politik, dan jual beli jabatan. Uang seolah menjadi satu-satunya paspor menuju kekuasaan, sementara nilai-nilai ilmu pengetahuan (iptek) dan keimanan (imtak) terpinggirkan dalam arus deras pragmatisme.

Politik Uang: Budaya yang Mengakar

Ironisnya, praktik ini bukan hanya salah pengelola negara. Masyarakat pun ikut ambil bagian. Dalam setiap pemilu, sebagian rakyat masih menjadikan “siapa yang memberi paling banyak” sebagai patokan pilihan. Amplop, sembako, hingga janji-janji uang tunai menjadi alat tukar suara. Seolah-olah, money politic adalah bagian wajar dari pesta demokrasi, padahal di situlah awal dari semua kerusakan tata kelola negeri ini.

“Kalau nggak bagi-bagi uang, mana bisa menang,” ujar seorang caleg yang meminta identitasnya disembunyikan. “Rakyat sendiri yang minta. Kalau nggak ngasih, dibilang pelit.”

Korupsi: Wabah Tanpa Vaksin

Tak heran, setelah menjabat, banyak pejabat merasa perlu “mengembalikan modal”. Maka lahirlah korupsi di berbagai lini. Mulai dari proyek fiktif, markup anggaran, hingga pungli di pelayanan publik. Yang lebih menyakitkan, hukuman bagi para koruptor sering kali tak setimpal dengan kerugian negara dan penderitaan rakyat yang mereka timbulkan.

Lihat saja deretan vonis ringan yang dijatuhkan kepada koruptor kelas kakap. Bandingkan dengan hukum berat bagi pencuri sandal atau sekarung beras. Keadilan seperti memiliki dua wajah: satu ramah bagi penguasa, satu lagi kejam bagi rakyat jelata.

Kemana Harus Mengadu?

Dalam kondisi seperti ini, rakyat kecil hanya bisa bertanya dalam hati: “Apakah suara kami masih berarti? Apakah keadilan masih ada?”

Reformasi yang digembar-gemborkan dua dekade silam kini seolah kehilangan arah. Upaya pemberantasan korupsi tampak lebih simbolis daripada substantif. Lembaga pengawas dipreteli, aparat penegak hukum seperti kehilangan taring, dan publik kian apatis terhadap perubahan.

Namun, belum terlambat. Perubahan bukan hanya tugas pemerintah, tapi juga tanggung jawab kolektif. Kesadaran masyarakat perlu dibangun kembali — bahwa suara kita bukan untuk dijual, bahwa jabatan adalah amanah, bukan bisnis. Bahwa negara ini bisa diselamatkan, jika moral kita dibangunkan.

Harapan Masih Ada

Tak semua pejabat korup. Tak semua rakyat apatis. Di banyak sudut Indonesia, masih ada pemimpin bersih, guru yang berdedikasi, aktivis yang menyuarakan kebenaran, dan warga yang memilih dengan hati nurani.

Negeri ini belum hancur, tapi luka-lukanya nyata. Saatnya semua pihak berhenti saling tunjuk dan mulai bergerak. Jika tidak, kita akan terus mengulang kisah lama: negeri yang kaya, tapi tak berdaya.

***

Sumber: BS.
×
Berita Terbaru Update