Notification

×

Iklan

Iklan

Yayasan Sang Dermawan: Antara Misi Sosial dan Celah Pajak Pengusaha

Sabtu, 24 Mei 2025 | 15.55 WIB Last Updated 2025-05-24T08:57:51Z
Foto, ilustrasi dan edukasi sosial.

Queensha.id - Jakarta,

Di balik tampilan mulia dan jargon “kontribusi sosial”, banyak yayasan yang didirikan pengusaha besar ternyata menyimpan sisi gelap. Bukan rahasia lagi, sejumlah orang kaya menjadikan yayasan bukan sekadar ladang amal, melainkan kendaraan strategis untuk menyiasati kewajiban pajak. Legal secara struktur, tapi bisa menabrak etika – bahkan hukum – ketika disalahgunakan.

Yayasan: Bukan Badan Usaha, Maka Pajaknya Berbeda

Secara hukum, yayasan tergolong badan nirlaba. Artinya, entitas ini tidak bertujuan mencari keuntungan dan bukan badan usaha seperti Perseroan Terbatas (PT) atau Commanditaire Vennootschap (CV). Status inilah yang membuatnya mendapat perlakuan pajak khusus.

Salah satu keistimewaannya: pemasukan ke yayasan tidak dikenai Pajak Penghasilan (PPh) Badan. Baik dana dari donatur, sponsor, hibah, maupun sumbangan dari si pendiri yayasan itu sendiri, semuanya bebas pajak. Di sinilah celah itu mulai terbuka.

Donasi ke Yayasan Sendiri = Pengurang Pajak Perusahaan

Modus klasik yang sering terjadi: pengusaha menyumbang dana dari perusahaannya ke yayasan yang ia dirikan sendiri. Dana itu lalu diklaim sebagai biaya operasional atau beban usaha, sehingga mengurangi kewajiban pajak perusahaan. Dalam satu langkah, mereka bisa tampil dermawan sekaligus menghemat pembayaran ke kas negara.

“Secara hukum memang dimungkinkan, asalkan yayasan menjalankan kegiatan sosial yang nyata dan akuntabel. Tapi praktik di lapangan sering kali tak semulus itu,” ujar seorang auditor senior yang enggan disebutkan namanya.

Dana Yayasan, Tapi Gaya Hidup Pribadi

Yang paling rawan adalah ketika pengeluaran yayasan disamarkan sebagai biaya operasional, padahal digunakan untuk kepentingan pribadi. Mulai dari menggaji anggota keluarga, membeli rumah atau mobil pribadi atas nama yayasan, hingga membiayai liburan dan gaya hidup mewah di balik program sosial fiktif.

“Jika tidak diaudit secara ketat dan transparan, dana yayasan bisa dengan mudah dialihkan tanpa menimbulkan kecurigaan,” jelas pakar perpajakan dari Universitas Indonesia, Dr. R. Susanto.

Risiko Hukum: Dari Sanksi Pajak Hingga Jerat Pidana

Tak semua pengusaha bisa terus lolos. Jika penyalahgunaan terbukti, konsekuensinya berat. Dari sanksi perpajakan berupa denda dan bunga, hingga dikenai pasal penggelapan pajak yang bisa berbuntut pidana. Beberapa kasus besar sudah menyeret nama-nama tokoh ternama, meskipun banyak pula yang tak sampai ke meja hijau.

Celah atau Niat?

Pada akhirnya, legalitas pendirian yayasan bukan soal benar atau salah, melainkan soal niat dan transparansi. Ketika yayasan benar-benar dijalankan sesuai visi sosialnya, lembaga ini bisa menjadi motor kebaikan. Namun, jika hanya dijadikan tameng untuk memoles citra dan menekan pajak, maka dermawan hanyalah topeng.

Sebagai masyarakat dan wajib pajak, kita berhak menuntut akuntabilitas dari setiap entitas yang mengklaim diri “berkontribusi untuk bangsa”. Karena seperti kata pepatah, kebaikan sejati tak butuh panggung—apalagi potongan pajak.

***

Sumber: Buku Akuntansi Audit dan Pajak, hasil investigasi redaksi
Catatan: Artikel ini bersifat umum dan tidak menyebut nama atau entitas tertentu secara langsung.
×
Berita Terbaru Update