Queensha.id - Jepara,
Dunia maya dibuat heboh dengan unggahan dari akun Facebook Arief Selalu Berkah Selamanya yang memposting foto undangan khitanan tak biasa. Dalam undangan itu tertulis permintaan yang cukup mengejutkan: “Maaf, 1/2 kwintal beras + 2 slop rokok Djarum”. Di bagian bawah foto, ada tulisan satir berbunyi: “Kampungmu podo ono bolo? (Di kampungmu apakah sama kayak gini?)”.
Ternyata, undangan tersebut berasal dari sebuah acara khitanan yang digelar di Desa Demeling, Kecamatan Mlonggo, Kabupaten Jepara. Netizen pun langsung meramaikan kolom komentar dengan beragam tanggapan, mulai dari lucu, heran, hingga mengaitkan fenomena ini dengan tradisi timbal balik di masyarakat pesisir utara Jawa.
“Iku gak niat nyumbang, tapi nagih karo seng tahu di datangi sing punya hajat,” tulis salah satu warganet.
Uleman: Tradisi Balas Budi dalam Balutan Rokok dan Beras
Masyarakat Jepara, khususnya di wilayah pedesaan seperti Demeling, masih memegang erat tradisi Uleman — bentuk undangan khas untuk hajatan seperti pernikahan atau khitanan. Uleman bukan sekadar undangan formal, tapi juga mengandung harapan akan adanya sumbangan atau kado balik dari tamu yang hadir, sesuai adat yang berlaku.
Untuk laki-laki, membawa satu slop rokok (10 bungkus) sudah menjadi budaya tak tertulis. Sedangkan untuk perempuan, biasanya membawa baskom berisi beras, gula, atau bahan pokok lain, lengkap dengan penutup serbet makan. Tradisi ini telah berlangsung sejak puluhan tahun, dan menjadi bagian dari identitas sosial masyarakat.
“Ya mas, besok aku Uleman ke tiga tempat. Tau sendiri kan klo Uleman itu harus membawa rokok 1 slop. Kalau 3 tempat ya lumayan duitnya,” kata seorang warga Desa Demeling yang enggan disebut namanya.
Namun, di balik tradisi ini tersembunyi sistem "tabungan sosial" yang kuat. Setiap kali seseorang memberi sumbangan saat Uleman, akan tercatat dalam ingatan (atau catatan khusus) si empunya hajat. Saat orang yang pernah datang itu menggelar acara, maka giliran mereka yang harus membalas—dengan jumlah dan jenis yang serupa.
“Temen-temen yang aku Ulemi itu ya potangan ke aku. Nanti kalau aku punya acara, ya mereka harus datang dan membawa sumbangan sesuai yang aku kasih dulu,” ujarnya.
Dari Djarum ke Sukun: Tradisi yang Ikut Menyesuaikan Zaman
Menariknya, jenis rokok pun memiliki sejarahnya sendiri. Pada era 1980-an hingga awal 2000-an, Djarum Super menjadi pilihan utama. Namun seiring meningkatnya harga, banyak warga mulai beralih ke merek Sukun yang lebih terjangkau.
Kini, fenomena “sumbangan wajib” seperti dalam undangan khitanan di Demeling tak jarang memunculkan dilema. Di satu sisi memperkuat solidaritas sosial, namun di sisi lain bisa menjadi tekanan ekonomi, terutama bagi warga yang harus datang ke banyak acara sekaligus dalam musim hajatan.
Bulan Hajatan: Waktu Sibuk dan ‘Boros’ bagi Warga
Di Jepara, bulan-bulan setelah Suro hingga jelang Idul Adha memang dikenal sebagai puncak musim hajatan. Aktivitas Uleman meningkat drastis dan warga harus siap-siap menyisihkan dana ekstra untuk memenuhi ‘kewajiban sosial’ ini.
Fenomena seperti undangan di Demeling pun dinilai sebagai bentuk kejujuran sekaligus candaan kultural. Entah dimaksudkan serius atau tidak, namun hal itu mengangkat kembali diskusi soal apakah tradisi Uleman masih relevan dengan kondisi masyarakat saat ini.
Antara Tradisi, Satir, dan Kenyataan
Budayawan lokal menyebut, tradisi Uleman adalah bentuk solidaritas sosial berbasis ingatan timbal balik. Namun jika diterapkan terlalu kaku atau menjadi beban, esensi gotong royong bisa bergeser menjadi tuntutan materialistik.
“Tradisi ini penting dilestarikan, tapi juga perlu dikritisi agar tidak menjadi tekanan sosial. Seharusnya Uleman jadi simbol keikhlasan, bukan daftar tagihan,” ujar Dr. Prasetyo Nugroho, pengamat budaya Jawa.
Di tengah gempuran zaman digital dan pembayaran cashless, tradisi Uleman di Demeling Jepara masih bertahan, lengkap dengan slop rokok dan beras 50 kilogram. Lucu, unik, sekaligus reflektif, karena siapa tahu, setelah datang dan memberi... besok giliran kita yang nagih kembali.
***
0 Komentar