Queensha.id - Jepara,
Seorang anak laki-laki duduk termenung di sudut rumahnya. Di usianya yang masih polos dan lugu, ia belum sepenuhnya memahami apa yang baru saja menimpanya. Namun tubuhnya menyimpan memori yang tak mampu ia ungkapkan tanpa gemetar. Memori itu datang dari sosok yang seharusnya menjaga, bukan melukai dari seorang guru.
Kasus yang kini mengguncang Jepara itu tidak sekadar soal hukum. Ini tentang luka jiwa seorang anak, dan tentang kegagalan kolektif kita menjaga mereka dari kejahatan yang bisa menyusup lewat topeng seorang pendidik.
Satuan Reserse Kriminal Polres Jepara menetapkan seorang pria, 55 tahun, sebagai tersangka kasus pencabulan terhadap siswa SD laki-laki. Peristiwa ini terjadi pada Kamis sore, di musola Desa Mororejo, Kecamatan Mlonggo pada, 12 Juni 2025, dan terungkap setelah ayah korban mencurigai anaknya yang baru turun dari kendaraan milik guru tersebut.
Tak seperti biasanya, anak itu murung. Ketika sang ibu mendekatinya dengan hati-hati, bocah itu akhirnya membuka suara dan bahwa ia baru saja dibawa ke musala oleh gurunya, dan di sanalah tubuh kecilnya dinodai.
Bagi keluarga korban, waktu seakan berhenti. Ibu korban kemudian memeriksa ponsel anaknya dan menemukan percakapan yang menyayat hati. Pesan-pesan dari pelaku yang mengarah pada rayuan dan ajakan cabul. Dari situlah tekad muncul: mereka tak bisa diam.
Dengan keberanian seorang ibu, ia menyamar menjadi anaknya lewat WhatsApp, membalas pesan-pesan pelaku, dan menyusun skenario pertemuan ulang. Ketika pelaku datang ke rumah korban keesokan harinya, keluarga langsung menahannya. Polisi yang dihubungi segera mengamankan pelaku dan membawanya untuk diperiksa.
“Pelaku sudah kami tahan, dan kami sedang melakukan pendalaman atas kemungkinan adanya korban lain,” ujar AKP M Faizal Wildan Umar Rela, Kasatreskrim Polres Jepara.
Barang bukti seperti handphone, pakaian korban, dan pakaian pelaku telah disita untuk memperkuat penyelidikan.
Namun di balik semua proses hukum itu, ada realita yang lebih pilu. Seorang anak kini harus memikul beban trauma yang tak pantas ia pikul. Ia harus menjalani hidup dengan kenangan pahit yang mungkin tak pernah benar-benar hilang, meski waktu terus berjalan.
Kasus ini mengingatkan kita bahwa predator anak tidak selalu datang dalam rupa asing. Mereka bisa memakai seragam guru, membawa kitab suci, bahkan mengutip nilai-nilai moral namun diam-diam merusak hidup anak-anak dari dalam.
Ini bukan hanya soal satu tersangka. Ini soal sistem yang harus lebih waspada, lingkungan yang harus lebih peduli, dan kita semua yang harus lebih berani bicara. Karena ketika satu anak disakiti, kita semua terluka.
***
Sumber: MN.
0 Komentar