Foto, ilustrasi seorang istri yang setia kepada suami. Foto: Juriman Dla. |
Queensha.id - Edukasi Sosial,
Dalam sunyi malam yang kerap disesaki rindu, di balik wajah-wajah tegar yang tersenyum untuk menenangkan, tersimpan satu kekuatan besar yang jarang terdengar suaranya: kesetiaan seorang istri. Bukan kesetiaan yang hanya terucap dalam janji pernikahan, tetapi kesetiaan yang diuji oleh waktu, jarak, dan air mata yang tak pernah tumpah di depan orang lain.
“Aku memilih setia bukan hanya pada janji, tapi pada segala luka dan letih yang datang silih berganti,” tulis seorang istri dalam suratnya yang menyentuh. Ia adalah potret dari ribuan perempuan yang memilih bertahan, bukan karena tidak punya pilihan, tapi karena cinta yang tidak pernah luntur meski dihantam badai kehidupan.
Setiap hari, ia melepas suaminya pergi menjemput rezeki di tanah perantauan, sementara ia sendiri tetap tinggal, menjaga rumah yang sesungguhnya hanya utuh dalam doa dan bayangan. Anak-anak, yang menjadi denyut nadi cinta mereka, kini hanya bisa ia peluk dalam mimpi—dalam sepi yang panjang tanpa pelukan hangat dan gelak tawa kecil mereka.
Tapi perempuan ini tidak mengeluh. Ia memilih berjalan dalam diam, mendampingi langkah suaminya dalam sunyi, menguatkan dari kejauhan, dan menanam harapan dalam doa-doa yang ia bisikkan di atas sajadah. Di tengah gelombang rindu yang mendesak dada, ia masih bisa menuliskan, “Aku tahu kau lelah, seperti aku pun sering ingin menyerah, tapi tatapanmu yang jujur, genggamanmu yang hangat, itulah bahan bakar yang menjaga nyalaku tetap hidup.”
Ini bukan sekadar kisah cinta. Ini tentang kekuatan yang tersembunyi di balik air mata yang tak terlihat. Tentang perempuan yang memilih menjadi rumah, ketika rumah yang sebenarnya terpecah oleh jarak. Tentang seorang ibu yang tetap berdiri, meski hatinya ingin rebah. Semua demi masa depan, demi anak-anak yang suatu hari nanti akan mengerti bahwa cinta sejati tak selalu harus dekat, tapi selalu hadir dengan cara paling tulus.
“Semoga perjuangan ini kelak menjadi cerita, bukan tentang pedih dan air mata, tapi tentang cinta yang tak menyerah, tentang kesetiaan yang tak lekang oleh jarak dan waktu,” harapnya.
Kisah ini bukan milik satu orang saja. Ini adalah narasi kolektif dari banyak istri yang memilih untuk tetap berdiri di belakang suami mereka—bukan sebagai bayangan, tapi sebagai cahaya yang tak pernah padam.
Karena bagi mereka, kesetiaan bukan hanya tentang menunggu. Tapi tentang terus mencintai, bahkan ketika dunia tak lagi ramah. Tentang memeluk dalam doa, meski tak bisa dalam nyata. Tentang kekuatan yang diam, namun tak tergantikan.
Artikel ini merupakan bagian dari seri "Suara dari Balik Diam: Kisah Perempuan Indonesia", yang menyoroti realita dan perjuangan emosional perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Jika Anda memiliki kisah serupa, kirimkan ke redaksi kami dan mari terus merayakan keberanian dalam kesunyian.
***
Sumber: Juriman Dla.
0 Komentar