Notification

×

Iklan

Iklan

Luka di Balik Keindahan Ukiran Jepara yang Mendunia, Upah Tak Pantas Didengar

Kamis, 12 Juni 2025 | 20.56 WIB Last Updated 2025-06-12T14:01:37Z
Foto, salah satu pengukir kayu dari Jepara.

Queensha.id - Jepara,

Jepara, kota kecil di pesisir utara Jawa Tengah, selama ratusan tahun dikenal sebagai surga seni ukir kayu. Ornamen rumit yang menghiasi perabot-perabot mewah di istana, hotel, dan rumah-rumah elite dunia itu lahir dari tangan-tangan kasar para pemahat. 


Namun, di balik keindahan ukiran yang mendunia itu, tersimpan kenyataan yang menyayat: profesi pemahat kini tengah menuju kepunahan.

Di sebuah sudut bengkel kayu di Desa Mulyoharjo, seorang pria paruh baya bernama Pak Ruslan duduk membungkuk, memahat sepotong kayu jati yang mulai mengering. Keringat menetes dari dahinya meski pagi baru saja menjelang. Tangannya bergerak penuh perhitungan, luwes, dan pelan yang seolah ia sedang menari bersama kayu. 

Namun senyumnya tidak pernah muncul. "Saya sudah memahat sejak remaja," katanya lirih. "Dulu, pekerjaan ini membuat saya bangga. Sekarang, saya hanya bertahan karena tak ada pilihan," imbuhnya.

Pak Ruslan adalah satu dari ribuan pemahat di Jepara yang hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian. Dihormati karena keahliannya, tapi dilupakan ketika soal kesejahteraan dibicarakan. Sistem kerja borongan yang diterapkan sebagian besar pemilik UMKM mebel membuatnya tak punya kuasa. Upahnya tergantung jumlah dan kerumitan ukiran, tanpa standar yang jelas dan adil. Kadang hanya Rp30.000–50.000 sehari dan bahkan lebih rendah jika pesanan sepi.

Tak ada gaji bulanan, tak ada jaminan kesehatan, tak ada hari tua yang pasti. "Saya sudah tidak berharap kaya, Mas," ujar Pak Ruslan. "Cuma ingin anak saya tidak perlu hidup begini. Itu saja,"

Dan itulah yang terjadi. Anak-anak pemahat kini memilih jalan lain. Mereka lebih tertarik menjadi buruh pabrik di kawasan industri Nalumsari atau Kalinyamatan. 

Di sana, mereka bisa mendapat gaji tetap, BPJS, dan jaminan pensiun. Sementara menjadi pemahat hanya menjanjikan keraguan dan profesi yang indah dari luar, namun rapuh dari dalam.

Pemerintah memang beberapa kali membuat program pelatihan seni ukir bagi pemuda, tapi tanpa jaminan ekonomi, seni hanyalah hobi yang mahal. Realitasnya, tangan-tangan tua seperti Pak Ruslan semakin sedikit, dan tangan-tangan muda enggan menggantikan.

“Ukiran Jepara itu bukan hanya hiasan. Ia adalah doa yang dipahat. Ia adalah sejarah yang diukir,” kata Bu Sumarni, seorang istri pemahat yang kini menjual gorengan untuk menambah penghasilan keluarga.

“Tapi siapa yang peduli dengan doa kalau perut tak kenyang?” lanjutnya.


Ketimpangan ini menyimpan ironi besar. Dunia memuji ukiran Jepara, tapi negeri sendiri membiarkan para pengukirnya terluka dalam diam. Seni yang diwariskan dari generasi ke generasi itu terancam sirna bukan karena kehilangan keindahan, tapi karena kehilangan penghidupan.

Jika tak ada langkah konkret, maka dalam beberapa dekade ke depan, yang tersisa mungkin hanya patung-patung kayu tak bernyawa di etalase toko. Tak akan ada lagi tangan yang mengukir dengan hati. Tak akan ada lagi kisah tentang pemahat miskin yang diam-diam memahat cinta dan kehidupan di balik sebilah kayu jati.

Solusinya bukan sekadar pelatihan atau promosi. Diperlukan keberanian untuk mereformasi sistem kerja. Penetapan standar upah berdasarkan nilai seni, pembentukan koperasi pemahat, hingga pelatihan kewirausahaan bisa menjadi jalan keluar. Ketika pemahat punya daya tawar, mereka tak hanya menjadi buruh lepas, tapi pelaku seni yang mandiri dan dihargai.

Sebab warisan budaya tidak akan lestari jika para pewarisnya terus dibiarkan bertarung sendiri di tengah gelombang ekonomi modern. Dan Jepara yang selama ini dibanggakan karena ukirannya harus mulai bertanya: apakah kita ingin dikenal dunia karena keindahan seni, atau dikenang karena membiarkan seniman-seniman kita mati perlahan?

"Karena pada akhirnya," ujar Pak Ruslan sambil menatap potongan kayu di pangkuannya, "yang kami ukir bukan hanya kayu, tapi harga diri."

***

Sumber: Muh Kamdhan.