Notification

×

Iklan

Iklan

Nelayan Tubanan Jepara Teriak: Laut Rusak, Janji PLTU Tinggal Isapan Jempol

Jumat, 20 Juni 2025 | 06.44 WIB Last Updated 2025-06-20T11:46:18Z

Foto, kapal tongkang atau kapal pengangkut batu bara yang diduga mencemari laut dan lingkungan di Desa Tubanan.

Queensha.id - Jepara,

Laut yang dulu jadi sumber kehidupan nelayan Desa Tubanan, Kecamatan Kembang, kini berubah jadi ladang konflik. Aktivitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tanjung Jati B dan kapal-kapal pengangkut batubara disebut menjadi biang keladi kerusakan ekosistem laut hingga rusaknya alat tangkap nelayan.

Maryono (61), nelayan setempat, kembali pulang tanpa hasil pada Mei 2025. Bukan karena tak ada ikan, tapi karena jaringnya robek terserempet tongkang batubara yang beroperasi malam hari. “Sudah dua kali jaring saya rusak. Harganya Rp15 juta, tapi ganti ruginya tak sampai separuh. Itu pun diproses berbulan-bulan,” keluhnya.

Insiden serupa dialami banyak nelayan sejak pertengahan 2024. Lebih dari sepuluh laporan kerusakan jaring muncul hanya dalam lima bulan awal 2025. Padahal, nelayan mengklaim sudah ada kesepakatan sejak 2018 bahwa kapal batubara dilarang beroperasi malam hari demi menjaga keselamatan dan hasil tangkap mereka.

Namun, perjanjian itu hanya tinggal arsip. Pihak PLTU berdalih peningkatan kebutuhan batubara membuat waktu operasional kapal pengirim tak bisa dibatasi lagi.

“Kesepakatan tinggal kenangan. Sekarang mereka alasan ‘kondisi darurat’ untuk langgar perjanjian,” ujar Bowo Kasbolah, Ketua Kelompok Nelayan Mina Jaya Ngeli.

Permintaan audiensi dan laporan ke DPRD Jepara pun tak berbuah manis. Komisi B DPRD hanya menyatakan siap jadi fasilitator, tapi tidak memberikan solusi konkret.

“Semua seolah dilempar ke manajemen PLTU. Kami seperti bermain di lapangan yang wasitnya tidak netral,” tambah Bowo.

Lilik Kristiawan, staf operasional lapangan PT Bahtera Adhiguna (BAG)—agen kapal batubara untuk PLTU—mengklaim pihaknya selalu berkoordinasi dengan nelayan sebelum kapal mendarat. “Kami tetap komitmen mengganti jaring yang rusak. Tapi memang proses verifikasi memerlukan waktu,” katanya.

Foto, Bowo Kasbolah, Ketua Kelompok Nelayan Mina Jaya Ngel saat memperbaiki jaring yang rusak karena tertabrak kapal batubara. Foto: Triyo Handoko/Mongabay Indonesia.

Namun, bagi nelayan, kompensasi tidak sebanding dengan kerugian yang dialami. Belum lagi sedimentasi dan abrasi yang memperparah penderitaan mereka.

Sungai Ngelo, yang dulunya dermaga alami nelayan kecil, kini nyaris tak bisa dilintasi kapal. Pendangkalan membuat kedalaman tinggal 60 cm. Dermaga darurat ini terletak hanya dua meter dari pagar PLTU.

“Empat tahun kami usulkan normalisasi, tapi tak pernah digubris. Sungai makin dangkal, kapal kami terjebak,” kata Bowo. Tiang pancang dan dermaga PLTU disebut memperparah abrasi, membuat pasir pantai masuk ke muara sungai.

Tidak hanya Sungai Ngelo, sungai lain di pesisir Jepara pun bernasib sama. Akibatnya, awal 2025, banjir melanda wilayah Kembang karena aliran sungai dari lereng Gunung Muria tersumbat sedimentasi.

Di bawah permukaan laut, kondisi lebih menyedihkan. Terumbu karang rusak akibat limbah dan pembangunan dermaga. Nelayan mengaku tidak lagi menemukan kepiting dalam lima tahun terakhir.

“Suhu laut naik, ikan menjauh. Karang rusak, biota laut hilang,” ujar Marwaji dari Penggerak Kegiatan Nelayan Jepara (PKNJ). Ia menyebut kerusakan ini berkaitan dengan pembuangan material pembangunan dan limbah air bahang dari sistem pendingin PLTU.

Koalisi Selamatkan Laut Jawa yang sejak 2023 menyuarakan keresahan ini, pernah melayangkan somasi kepada Gubernur Jawa Tengah. Namun, hingga kini belum ada jawaban. Mereka pun tengah menyiapkan gugatan hukum (citizen law suit).

“PLTU buang limbah air panas bersuhu hingga 34,5°C. Padahal, suhu optimal karang hanya 28–30°C,” ujar Cornelius Gea, tim hukum Koalisi. Ia menekankan bahwa terumbu karang adalah rumah bagi 25% spesies ikan laut.

Koalisi mendesak Pemprov Jateng menetapkan baku mutu suhu limbah lebih ketat dari standar nasional, serta meminta laporan enam bulanan soal suhu limbah dan kondisi laut di sekitar PLTU dipublikasikan secara terbuka.

Ironisnya, saat dikonfirmasi pihak Humas PLTU Tanjung Jati B menolak memberikan keterangan soal dampak lingkungan dari aktivitas mereka.

Sementara laut terus rusak, janji terus menguap. Nelayan pun hanya bisa menatap laut dengan nelangsa: rumah mereka dirampas, suara mereka diabaikan. Yang tersisa hanya perahu, jaring sobek, dan harapan yang kian menipis.

***

Sumber: Mongabay.

×
Berita Terbaru Update