Foto, dikutip dari Antara/ aksi unjuk rasa menolak keras pemberlakuan sanksi pidana dalam aturan Over Dimension and Over Loading (ODOL). |
Queensha.id - Kudus,
Jalan Lingkar Selatan Kudus, Kamis (19/6/2025) — Sekitar 800 sopir truk dari berbagai wilayah di Kabupaten Kudus dan sekitarnya menggelar aksi unjuk rasa menolak keras pemberlakuan sanksi pidana dalam aturan Over Dimension and Over Loading (ODOL). Aksi ini berlangsung damai namun penuh semangat di depan Terminal Induk Jati, Jalan Lingkar Selatan Kudus, menyoroti keresahan mendalam para pengemudi atas kebijakan yang mereka nilai “tidak adil dan menyasar rakyat kecil.”
Di tengah deretan truk berbagai ukuran yang terparkir memanjang di jalan, para sopir membawa spanduk bertuliskan “Sopir Bukan Kriminal”, “Revisi UU ODOL”, dan “Overload Sitik Dipenjara, Koruptor Dibiarkan”. Aksi ini turut dihadiri oleh Bupati Kudus Sam’ani Intakoris, Wakil Bupati Bellinda Birton, serta Kapolres Kudus AKBP Heru Dwi Purnomo yang mendengarkan langsung curahan hati para sopir.
Ketua Gerakan Sopir Truk Jateng, Anggit Putra Iswandaru, menegaskan bahwa para sopir tidak menolak penertiban ODOL. Namun yang menjadi keberatan adalah adanya pasal ancaman pidana dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 yang kerap diterapkan tanpa melihat akar persoalan sebenarnya.
“Kami bukan pelaku kriminal. Kami hanya bekerja untuk menyambung hidup keluarga. Jika sanksi pidana diberlakukan, kami tidak berani jalan. Takut masuk penjara hanya karena muatan lebih,” kata Anggit saat ditemui wartawan di lokasi aksi.
Menurut para pengemudi, muatan berlebih bukan semata-mata niat melanggar, melainkan bagian dari strategi bertahan hidup di tengah mahalnya biaya operasional dan pungutan liar di jalan. Sejumlah peserta aksi bahkan menuding bahwa jalan-jalan rusak bukan akibat truk ODOL semata, tetapi juga karena kualitas aspal yang buruk akibat korupsi proyek pembangunan jalan.
Dalam tanggapannya, Kapolres Kudus AKBP Heru menyatakan bahwa aturan ODOL merupakan kebijakan pusat dan pihaknya terbuka terhadap penyampaian aspirasi.
“Silakan susun tuntutan yang konstruktif. Kami siap bantu menyampaikan ke tingkat lebih tinggi,” ujarnya.
Sementara itu, Bupati Sam’ani mengaku siap menjembatani suara para sopir. Ia menjanjikan akan berkomunikasi dengan pemerintah pusat untuk mengkaji ulang regulasi ODOL, termasuk persoalan uji kir dan biaya operasional yang dikeluhkan para sopir.
Aksi di Kudus ini disebut baru permulaan. Para sopir berencana menggelar unjuk rasa lanjutan di tingkat provinsi demi bertemu langsung dengan Gubernur Jawa Tengah. “Jika perlu, kami mogok total selama satu bulan. Lihat nanti distribusi logistik lumpuh, baru mereka sadar peran sopir di negeri ini,” ucap seorang sopir dari Pati.
Di sisi lain, kemarahan sopir juga tumpah di media sosial. Unggahan dari akun Facebook bernama S Kotijah memicu gelombang komentar pedas terhadap pemerintah dan aparat penegak hukum. Beberapa netizen menilai aturan ini sebagai bentuk ketimpangan hukum yang lebih sering menyasar rakyat kecil daripada koruptor berdasi.
“Overload sitik dipenjara, koruptor trilyunan dibiarkan. Rakyat hanya cari makan, bukan maling. Tapi kami yang dijerat aturan,” tulis akun tersebut.
Tudingan terhadap praktik pungli di jalan, setoran ilegal, hingga kualitas jalan yang buruk akibat proyek bermasalah mengemuka di kolom komentar. Sentimen ketidakpercayaan terhadap penegakan hukum dan rasa frustasi akan ketidakadilan hukum menyelimuti diskusi daring tersebut.
Aksi para sopir truk ini menjadi pengingat keras bahwa regulasi tak boleh dipisahkan dari realitas sosial dan ekonomi masyarakat kecil. Di tengah tekanan hidup dan himpitan biaya, para sopir menuntut keadilan yang tidak hanya tertulis di atas kertas, tetapi dirasakan nyata dalam keseharian mereka di jalanan.
“Sopir bukan kriminal. Kami ini tulang punggung logistik bangsa. Kalau kami mogok, negara ini juga bisa lumpuh,” pungkas seorang sopir tua sambil menatap truknya yang kini terdiam di bahu jalan.
0 Komentar