Notification

×

Iklan

Iklan

Bubur E-Mari, Primadona Sarapan Anak Muda di Mayong Jepara

Minggu, 27 Juli 2025 | 19.40 WIB Last Updated 2025-07-27T12:45:18Z

Foto, penjual bubur E-Mari di wilayah Mayong, Jepara.

Queensha.id - Jepara,


Di depan RS PKU Muhammadiyah Mayong, aroma manis santan dan gula merah perlahan membangunkan pagi. Dari sebuah lapak sederhana yang tak mencolok, antrean justru terus mengular. Warga menyebutnya “Bubur E-Mari”, sebuah warung bubur rumahan yang kini jadi perbincangan hangat di kalangan anak muda Jepara, khususnya di wilayah Mayong.


Perempuan muda di balik kesuksesan warung itu adalah Ema Aryanti (30). Dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya, Ema cekatan menyendok bubur dari toples-toples besar di meja saji. Tak hanya piawai memasak, ia juga piawai menarik hati para pelanggan, terutama kalangan muda yang kini menjadikan bubur sebagai alternatif sarapan kekinian.


“Pisang ijo memang paling cepat habis. Biasanya hari Minggu orang datang lebih pagi karena takut kehabisan,” tutur Ema.


Meski usianya baru dua bulan, Bubur E-Mari telah tumbuh menjadi ikon kuliner sarapan di Mayong. Warung ini buka sejak pukul 05.00 WIB hingga menjelang siang. Menu yang ditawarkan pun lengkap: bubur sumsum, bubur mutiara, ketan hitam, kacang hijau, hingga bubur candil. Semua disajikan hangat dengan rasa lembut dan manis yang pas di lidah.


Dengan harga terjangkau, mulai Rp3.000 hingga Rp10.000 tak heran banyak pembeli rela antre. Dalam sehari, terutama akhir pekan, omzet Ema bisa menyentuh angka Rp600 ribu hingga Rp700 ribu. Sementara pada hari biasa, rata-rata bisa membawa pulang Rp400 ribu.


Lebih dari sekadar jualan, bagi Ema usaha ini adalah langkah besar dalam hidupnya. Ia meninggalkan zona nyaman sebagai karyawan untuk membangun usaha dari nol.


“Saya merasa nggak bisa selamanya jadi karyawan, karena saya memikirkan masa tua saya. Ada jiwa nekat yang akhirnya bikin saya memutuskan buka usaha sendiri,” ungkapnya.


Apa yang membuat bubur E-Mari berbeda? Selain cita rasa, Ema sangat memperhatikan kebersihan dan kualitas. Bahan-bahan dibeli segar setiap hari, pengolahan dilakukan di rumah, dan kemasan dipastikan bersih dan praktis. Semuanya diracik dan disiapkan dengan rasa cinta yang tulus.


“Bubur itu makanan sederhana. Tapi kalau dibuat dengan hati, hasilnya beda. Saya ingin orang yang makan bubur ini merasa seperti di rumah sendiri,” pungkasnya.


Kisah Ema Aryanti adalah cermin semangat muda yang berani mengambil risiko demi kemandirian. Ia membuktikan bahwa dengan tekad dan kesungguhan, bahkan semangkuk bubur pun bisa mengubah nasib.

***

Oleh: M. Fatkhur Rifqi, Mahasiswa PPL UIN Sunan Kudus.

Queensha Jepara
Dipublikasikan: 27 Juli 2025.


×
Berita Terbaru Update